Seorang gadis melangkah keluar rumah. Alista tak pernah melupakan jadwalnya untuk mengajar. Baru saja ia selesai memakai sepatu, Alan datang tiba-tiba dengan wajah begitu panik ditambah penasaran. Alan tahu, harapan terakhir untuk menanyakan tentang adiknya adalah Alista, orang yang memang dekat dengan sang adik akhir-akhir ini untuk belajar.
"Alista, Arda ke sini gak?"
Alista berdiri heran ketika Alan bahkan tahu alamat rumahnya. Ia pun tiba-tiba menanyakan Arda.
"Nggak, emang Arda ke mana? Saya baru mau ke sana untuk mengajarnya." Alista terlihat bingung.
Beberapa detik kemudian, terduduklah Alan di kursi teras rumah Alista. Di kursi sebelah, Alista pun terduduk berekspresi datar ciri khasnya. Ia berusaha untuk mendengar setiap cerita dan apa yang tengah terjadi pada Arda, muridnya. Alan menceritakan semua peristiwa itu pada Alista. Bahkan, kepergian Arda yang tiba-tiba membuat Alista pun terkejut. Senakal-nakalnya Arda, Alista pikir, Arda tidak akan bisa meninggalkan rumahnya. Namun, kepergian Arda selama dua hari itu membuatnya begitu heran, ke mana perginya Arda.
"Jadi sekarang Arda pergi? Dan belum pulang sampai sekarang?" Alista bertanya begitu khawatir. Ia pun tak tega melihat wajah Alan yang sudah begitu cemas tak karuan mencarinya.
"Iya, saya gak tau lagi harus cari Arda ke mana. Sampai saya harus merasa ke sini. Mungkin, Arda ke rumah kamu, nyatanya nihil." Alan tertunduk sendu.
"Saya sayang Arda melebihi apapun, walaupun dia bukan adik kandung saya. Waktu umur saya sepuluh tahun, ibu beritahu berita ini sama saya, juga merahasiakannya dari Arda. Saya patuh sama ibu. Gimana pun ceritanya di masa lalu, Arda tetap adik saya dan gak akan pernah berubah."
Alista terdiam sejenak mendengar setiap kalimat yang Alan keluarkan. Ia pun tak bisa melakukan banyak pertolongan, karena Arda pun belum sepenuhnya ia kenal dengan baik. Hanya saja, Alista tahu beberapa titik tempat yang sering Arda kunjungi dan menarik dirinya untuk bisa mengajarnya di outdoor.
"Saya tau tempat yang suka di kunjungi Arda."
"Ayo pergi."
Alista pergi dengan Alan. Ia membonceng motor bersama pria bertubuh atletis itu. Semilir angin menerpa rambut kuncir satu Alista. Mata Alan memencar seraya fokus untuk mengemudikan motor gedenya. Ia sangat cemas jika Alista tak nyaman karenanya. Tapi sepanjang jalan, ia terus memegangi baju Alan untuk berpegangan.
Mereka sampai di suatu tempat di mana Arda sering mengunjunginya kala sedang belajar di luar ruang bersama Alista. Namun lagi-lagi, orang yang mereka cari tak terlihat juga di pandangan.
"Ke mana lagi gue cari Arda." Alan sudah prustasi karena hal itu, ditambah lagi ibunya ingin Arda tetap kembali.
"Kamu gak lapor polisi?"
"Kalau Arda benar-benar hilang, saya akan panggil polisi."
Wajah lebam tak membuat sulut semangat Reka untuk bekerja. Ia sangat tertib terhadap waktu. Patut ia dibilang cowok dengan kesempurnaan yang diidami para kaum hawa.
"Kak Reka? Kenapa kerja?" Nana cemas menghampirinya. Ia tahu, bahwa pengeroyokan terhadap Reka masih membuat wajahnya terlihat lebam sejak kemarin.
"Emangnya kenapa?"
"Kakak kan masih sakit."
"Minggir, gue mau ke loker."
KAMU SEDANG MEMBACA
ALISTA
Fiksi RemajaAlista harus menjadi tulang punggung keluarga setelah kematian kedua orangtuanya. Ia harus menghidupi dirinya dan satu adik laki-lakinya. Beberapa pekerjaan ia lakukan dengan keras termasuk menjadi guru privat anak orang tajir. Sebuah masalah timbul...