Pagi itu menjadi awal bagi Alista menginjakkan kakinya lagi di rumah keluarga Banaputra. Di dalam sana, sudah ada yang begitu antusias bersambung gugup karena kedatangan Alista.
"Selamat pagi."
"Pagi Alista, silakan. Arda udah nunggu di dalam." Bu Laras menyapa ramah.
Sementara, di ruang belajar mereka, sudah ada seorang laki-laki yang sedang merasakan kegugupan ketika guru privatnya mulai memasuki ruangan.
"Sial. Kenapa gugup gini gue? Kasih giftnya nanti aja deh." Arda membatin gugup. Baru kali itu ia merasakan bahwa sesulit itu kah mendekati seseorang yang disukai?
"Sulit. Jika manusia tanpa mengikuti norma-norma kehidupan yang ada, semuanya akan sulit dilakukan." Alista masih sibuk menjelaskan. Namun, fokus Alista teralih ketika muridnya itu malah bergeming sambil melamun tanpa memperhatikan ia sedang menjelaskan sebuah materi.
"Arda?"
Panggilan pertama belum kunjung membuat Arda teralih. Alista semakin mengerutkan dahinya menatap bingung Arda.
"Arda?!"
"Eh iya kak, kenapa?" Arda bahkan menjawabnya begitu terkejut. Sudah bisa ditebak, jika ia sedari tadi tidak memperhatikan pelajaran. Dan sudah bisa ditebak, kalau Arda masih memikirkan hadiah untuk Alista.
"Kamu ngapain sedari tadi? Kenapa gak merhatiin pelajaran?"
"Maa ... maaf kak. Silakan dilanjut lagi."
Beberapa jam kemudian, pelajaran telah Arda selesaikan. Arda mengambil sebuah box sebelum ia mengantarkan Alista ke depan pintu hendak pulang. Senyuman terus menempel di wajah Arfa ketika ia hendak memberikan box itu pada Alista. Namun, senyumannya terhenti ketika ia melihat sepatu berwarna putih bersih layaknya baru di halaman depan rumahnya tergeletak. Ia tahu, Alista tak pernah memakai sepatu berwarna putih semenjak hari pertama ia mengajar ke rumahnya. Arda mungkin sudah sedetail itu memperhatikan Alista sejak hari pertama mereka bertemu.
"Bu? Ibu beli sepatu lagi? Jangan bilang ibu mau ikut aerobic lagi? Nanti kalau pinggang ibu kumat gimana?" teriak Arda pada Bu Laras yang ada di dalam rumah.
"Sepatu apa yang kamu maksud? Ibu udah berhenti ikut Aerobic!" Bu Laras menyahut seruan Arda.
"Bukan, bukan. Ini sepatu saya." Ucapan Alista membuat Arda mengerutkan dahinya. Bahkan sepatu yang Alista kenakan hampir sama dengan sepatu yang ia bawa dalam box itu.
"Baru?"
"Iya. Ini dari kakak kamu. Katanya, ucapan terima kasih udah bantu kamu belajar. Oh iya, terima kasih juga ya. Saya pamit dulu, tolong kasih tau Bu Laras."
Alista lantas pergi meninggalkan tempat. Sementara, Arda melebarkan matanya kaget mendengar bahwa sang kakak lebih dulu memberikan hadiah tanpa sepengetahuannya. Tentu saja pikiran Arda sudah berlarian ke mana-mana. Ya, kapan Alan memberikan hadiah itu? Apakah mereka jalan bersama? Atau Alan diam-diam menemui Alista?
"Bang Alan?" Arda membatin kesal.
Ia melempar box itu dengan sengaja ke lantai. Wajahnya sungguh tidak enak untuk dilihat. Arda menanggalkan jejaknya untuk keluar. Motor yang terparkir aman, ia mulai naiki. Jalan besar yang sepi membuatnya memainkan kecepatan motornya dengan tak normal.
Laki-laki tinggi bertubuh atletis itu baru saja pulang. Ia memasuki rumah dengan senyuman begitu lebar. Satu tangannya membawa sebuah goodie bag yang berisikan gift untuk sang ibu.
"Kamu udah pulang, langsung ke meja makan ya. Ibu masak rendang ayam."
"Wah enak nih. Tapi bu, ibu kemari deh, Alan mau kasih sesuatu buat ibu."
KAMU SEDANG MEMBACA
ALISTA
Teen FictionAlista harus menjadi tulang punggung keluarga setelah kematian kedua orangtuanya. Ia harus menghidupi dirinya dan satu adik laki-lakinya. Beberapa pekerjaan ia lakukan dengan keras termasuk menjadi guru privat anak orang tajir. Sebuah masalah timbul...