Menyusuri ruangan gelap, melihat sebuah cahaya yang tepat di hadapannya. Alista melihat seseorang, yaitu seorang lak-laki. Laki-laki itu menghampirinya, menarik tangannya dan mengepalkan sesuatu yang membuat wajahnya jatuh menjadi bingung. Ia buka kepalan tangannya, terlihat sebuah cahaya yang menyinari benda itu. Semakin bercahaya semakin menusuk matanya yang penasaran.
"Arrrggghhhhhhhhh!"
Reka yang berada di kamarnya langsung terbangun karena teriakan itu, dan lantas pergi melihat sang kakak di kamarnya.
"Kakak, kakak buka kak, kakak!" teriak Reka di luar kamar seraya mengetuk-ngetuk pintu kamar Alista.
Suara handle terbuka, mendapati wajah Alista yang penuh dengan ketakutan. Ia segera mungkin memeluk Reka dengan begitu erat.
"Kenapa lagi kak? Mimpi buruk lagi?"
"Kakak mimpi Rey."
Reka segera mengambilkan segelas air mineral untuk sang kakak.
"Kakak cuma kelelahan, minum yang banyak jangan dilupain kak."
"Udah, sekarang kakak istirahat lagi, jangan lupa baca do'a supaya gak mimpi macem-macem. Malem kak."
Reka keluar pintu dengan begitu malas. Waktu tidurnya selalu aja terganggu ketika Alista berteriak karena mimpinya lagi. Sungguh, sering sekali Reka mengalami insomnia hanya karena mendengar teriakan mimpi Alista setiap malam.
"Aneh, biasanya dia mimpi pangeran kerajaan, putri, istana apalah. Tumben banget dia mimpi aneh begitu. Huaaahhh ngantuk kan gue jadinya," gumam Reka seraya menutup kembali pintu kamar Alista.
Ya, kejadian itu sudah mendarah daging bagi Alista. Bahkan mimpi-mimpi anehnya selalu menggerayangi hidupnya kala malam menjelang. Entahlah, hal itu sudah menjadi hal lumrah bagi Reka. Ia tak pernah bisa menginap di rumah temannya karena selalu cemas akan mimpi sang kakak. Alista bahkan sudah mencoba berkonsultasi dengan seorang psikolog karena ia mulai terganggu dan menjadikan tidurnya pun tak sehat. Namun semuanya, sia-sia.
Pagi datang, Alista membuatkan sarapan untuk adiknya begitu cekatan. Ia menaruh beberapa lauk ke beberapa piring.
"Kak, jadi datang gak? Turnamen bola basket Reka, nanti jam 2 siang." Reka mengingatkan kakaknya.
"Oh iya, kakak hampir lupa Rey. Kakak mau ngajar les ini, gimana ya?"
"Kalau kakak gak ada waktu, ya gak apa-apa kak. Reka ngertiin kok."
"Maafin kakak ya Rey, sebenarnya kakak juga mau ke sana, tapi gimana, kakak baru sehari ngajar privat."
"Yang penting kakak do'ain Reka aja ya. Ya udah, Reka pamit dulu, mau berangkat kuliah."
"Hati-hati," ucap Alista yang terlihat kecewa karena tidak bisa melihat pertandingan basket adiknya. Padahal, ia sudah berjanji jika dikala senggang. Namun karena pekerjaan, menuntut Alista untuk membatalkan janjinya.
Dengan kemeja dan jeans yang dia pakai. Juga tak tertinggal, tas punggung yang dipakainya, Alista siap untuk pergi ke rumah Arda. Sesaat sampai, Bu Laras tengah diambang perasaan bersalah karena sang anak lagi-lagi kabur untuk menonton pertandingan basket temannya. Arda memang selalu begitu. Bukan hanya alasan yang keluar, tapi kabur adalah jalan alternatifnya jika sedang malas untuk belajar.
"Bagaimana ya? Arda ponselnya gak aktif lagi. Nih anak emang kelewatan bangornya," gerutu Bu Laras menatapi ponselnya. Sementara, Alista hanya terdiam sambil duduk manis menunggu keputusan apa yang akan Bu Laras ambil karena Arda tak berada di rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALISTA
Teen FictionAlista harus menjadi tulang punggung keluarga setelah kematian kedua orangtuanya. Ia harus menghidupi dirinya dan satu adik laki-lakinya. Beberapa pekerjaan ia lakukan dengan keras termasuk menjadi guru privat anak orang tajir. Sebuah masalah timbul...