2' Strong Women Alista

3.8K 174 3
                                    

Minggu pagi, di saat burung kecil mulai bernyanyi dan daun-daun terhempas oleh angin pagi yang menyejukan, Alista pergi untuk mencari pekerjaan tambahan. Gadis berambut panjang itu sekarang menjadi tulang punggung keluarganya. Ia bahkan membiayai keperluan dan kuliah adiknya. Alista beserta adiknya tinggal di sebuah rumah kecil peninggalan orangtua mereka satu-satunya.

"Kerja apa lagi gue, kalau ngandelin gaji dosen sih, buat bayar kuliah Reka sama kebutuhan sehari-hari kayaknya kurang cukup deh. Tapi apapun itu, gue harus tetap bersyukur."

Alista mencoba melamar pekerjaan di sebuah perusahaan yang cukup bergengsi dengan modal sarjananya, Alista yakin bahwa dirinya pasti akan diterima.

"Semoga aja hari ini keberuntungan buat gue, semangat." Alista memasuki pintu masuk perusahaan.

"Tinggal nunggu interview, semoga aja masuk."

Tak pernah dibayangkan, bagaimana Alista bisa bertahan hidup bersaman adiknya selama ini. Ia sosok perempuan yang bahkan bisa menjadi sosok kepala keluarga bagi adiknya.

Alista pergi untuk menjadi pengajar pengganti ketika dosen salah satu mata pelajaran tak bisa masuk hari itu. Ia biasanya mengajar 4 kali pertemuan jika ada panggilan. Ia salah satu asisten dosen termuda di kampus. Tak ayal juga, beberapa mahasiswa malah menggodanya.

"Bu Alista, kasih tau saya dong," ucap salah satu mahasiswa.

"Kasih tau apa ya?"

"Kasih tau saya, rahasia kecantikan ibu."

Satu kelas tertawa karena itu. Alista hanya terdiam tanpa menimpali. Sebenarnya, ia terganggu akan hal itu, namun ia harus menahan segala emosinya terlebih lagi nama baiknya sendiri. Memang, semenjak dirinya menjadi seorang asisten dosen termuda, Alista sering digoda beberapa mahasiswa. Terlebih lagi, wajah Alista yang cantik, membuat kaum adam yang melihatnya pasti terpesona. Setiap kejadian, semua itu tidak menyulutkan semangatnya mencari nafkah untuk keluarga. Ya, mungkin itu hal yang sepele, tapi lama kelamaan, hal itu pun membuatnya jengkel juga dan sedikit melukai harga dirinya yang disepelekan.

"Kenapa Lis?" tanya Melani.

"Kayaknya gue gak tahan lagi deh Mel jadi asdos."

"Loh kok kenapa? Digoda lagi sama mahasiswa?"

"Gue nunggu interview di salah satu perusahaan, misal gue masuk, gue mau berhenti aja deh Mel."

"Tapi Lis, ini tuh kerjaan yang udah melekat di lo, masa lo mau tinggal gitu aja?"

"Ya tapi kan kalau gue kerja nanti, gue gak bisa masuk full day Mel. Biar nanti gue buka privat aja."

"Kalau itu sih gue setuju Lis. Good luck ya buat lo."

"Thanks Mel."

Di rumah mereka yang damai, terlihat Reka yang mulai mendekati kakaknya itu untuk mengajaknya berbicara. Ia duduk di samping sang kakak dengan begitu tenang. Menoleh perlahan, membuat Alista penasaran karena sikapnya.

"Kak, Reka besok mau ikut observasi."

"Ke mana? Buat hal apa?"

"Mau ke Bandung kak, dua hari."

"Kamu butuh biaya kan? Nanti kakak kasih kamu, kamu belajar yang bener di sana, kakak kuliahin kamu supaya bisa jadi orang sukses."

"Iya iya Reka ngerti, makasih Ma Sistaaa. You always the best for me," ucap Reka seraya memeluk erat kakak perempuannya itu.

"Tumben mau meluk kakak?"

"Yang Reka punya kan sekarang kakak. Aku janji mau bantu kakak. Aku juga janji mau serius dalam kuliah, pokoknya semua ini buat kakak." Perkataan Reka membuat Alista akhirnya berkaca. Beruntung sekali, jika adiknya adalah anak yang penurut.

"Adik kakak udah dewasa." Matanya berkaca sendu.

Malam menjelang. Kedua mata masih terbuka lebar memandangi sebuah bingkai foto berisikan pasangan suami istri. Ya, itu kegiatan rutin Alista, memandangi foto kedua orangtuanya sebelum tidur.

"Ayah, ibu. Aku janji, aku bakal jagain Reka, sekolahin dia sampe tinggi." Tetesan demi tetesan air mata terlihat di kaca bingkai foto tersebut. Saat itulah Alista mulai menangis. Merindukan sosok yang bahkan tak pernah bisa tergantikan oleh siapapun. Sosok yang kini telah menjadi kenangan dalam batinnya. Sosok yang kian hari selalu ia kirimkan sebuah do'a di tiap malamnya.

ALISTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang