11' Dipecat

1.6K 79 0
                                    

Mata Alan menatap kosong ketika ia berjalan memasuki rumahnya. Pikirannya masih dipenuhi kejadiannya bersama Alista siang itu. Sungguh, sebenarnya ia tak ingin mencampuri urusan orang. Tapi, perkataan Alista ada benarnya juga. Kenapa bisa Alan mencampuri urusannya yang begitu privat? Alan terus berpikir hal itu sampai tak fokus jika ia sudah berjalan tanpa melihat sekitar.

"Abis dari mana lo bang?"

Teguran Arda membuat Alan menoleh kaget.

"Ceritain jangan ya ke Arda? Tapi ... jangan deh. Bocil ngapain juga harus tau," batin Alan.

"Bang, kok diem gue tanya?"

"Abis pulang ngantor gue. Sok sok'an segala nanya lagi lo, tiap hari udah tau juga." Alan menggaruk tengkuknya perlahan. Matanya memencar tanpa fokus ke sang adik.

"Kok telat? Tumben. Ketemuan dulu lo ya sama Luna?" Arda mulai meledeknya lagi.

"Heh bocah, gak usah ikut campur. Pergi pergi lo sana, ganggu aja."

"Heh, udah gua bilang berapa kali, jangan pernah panggil gua bocah, apalagi depan Alista!" teriak Arda seraya melihat Alan yang sudah menjauh.

Alan menoleh lagi sebelum ia menaiki anak tangga menuju kamarnya. Ia menjulurkan lidahnya dengan membuat wajahnya begitu konyol untuk meledek sang adik.

¤¤¤

Alista tengah memikirkan urusannya dengan Alan. Sungguh, ia bingung saat itu. Sangat memalukan saat tahu orang yang menolongnya adalah Alan, kakak dari muridnya sendiri.

"Ah elah, kenapa gue harus berurusan sama dia sih? Masalahnya jadi rumit gini kan. Sekarang gue harus ganti. Bukan masalah uangnya juga, tapi masalah moral. Gue malu banget karena abang dari murid gue, nolongin gue," gumamnya dengan risih.

Pagi itu menjadi awal Alista untuk mengajar di universitas tempatnya bekerja. Bukan Alista namanya jika tidak digoda oleh para mahasiswa di kampus. Sebenarnya Alista pun sudah tak betah untuk menjadi dosen di universitas tersebut. Namun, bekerja adalah keharusan untuknya menopang hidupnya dengan sang adik saat ini. Mahasiswa itu sungguh membuat jengkel dirinya setiap saat ia mengajar. Tapi, bukan Alista namanya kalau tidak memiliki mental yang kuat.

Panggilan dari rektor saat itu membuat Alista begitu terkejut. Namun, ia berpikir mungkin ada rapat dadakan para dosen dan staf seperti yang biasa ia ikuti setiap bulannya.

"Tumben banget rektor manggil gue, ada apa ya?"

Sebuah amplop berwarna putih disodorkan oleh Pak Rektor di meja ke arah Alista. Sebenarnya, Alista sudah menerima gaji minggu lalu. Tapi amplop putih itu membingungkan Alista yang begitu sopannya bersikap di depan Pak Rektor. Perlahan, Alista membuat amplop tersebut berisikan sebuah surat. Lebih tepatnya, surat pemberhentian. Alista melotot tajam ketika matanya menangkap sebuah tulisan yang mendorongnya untuk mengundurkan diri dari kampus tersebut.

"Kenapa saya diberhentikan Pak? Apa saya melakukan kesalahan?" Alista sudah sangat panik. Tangannya sendiri terlihat bergetar.

"Dengan berat hati Bu Alista. Kami sudah membahas dalam sebuah rapat tentang hal ini. Sebenarnya, cara mengajar Bu Alista sudah bagus. Bu Alista cerdas luar biasa. Tapi masalahnya, mahasiwa kita tidak bisa fokus jika Bu Alista yang mengajar. Dan, saya menerima laporan kalau Bu Alista berbincang berdua di dalam kelas dengan salah satu mahasiswa ketika jam mata kuliah sudah habis. Bukan saya melarang. Tapi hal seperti itu tidak seharusnya dilakukan di dalam lingkup universitas Bu."

"Tapi, dia yang meminta saya untuk bimbingan secara pribadi karena mahasiswa itu belum memahami mata kuliah sebelumnya Pak. Saya rasa itu sudah wajar dilakukan para dosen yang lain."

ALISTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang