Sebuah cafe menjadi teman terbaik Alista dan Melani untuk mereka saling melempar curhat dan keluh kesah masing-masing, terutama Alista. Sebulan berlalu, namun Alista masih belum kunjung mendapat panggilan dari tempat ia melamar pekerjaan setelah melakukan interview.
"Gimana Lis, udah dipanggil kerja?"
Alista merebahkan kepalanya hingga menyentuh meja cafe. Wajahnya begitu murung bersambung kekecewaan yang tertanam dipikirannnya.
"Lis, lo sakit?"
"Nggak Mel, gue belum dipanggil kerja sampai sekarang. Gue anak hukum, gak sesuai sama perusahaan mereka mungkin." Ucapannya pun terdengar begitu malas.
"Emm, iya Lis. Gue mau rekomendasiin lo ke temen ibunya gue. Dia itu punya anak susah banget buat belajar. Dia tajir, bad boy di sekolahnya dulu, suka balapan liar. Anaknya itu sekitaran umur 18 tahun, cowok. Mau dimasukin ke universitas tinggi, karena orangtuanya gengsi kalau anaknya itu gak lanjut kuliah, karena dia konglomerat di wilayahnya."
"Terus hubungannya sama gue apa?"
"Gue belum selesai bicara. Katanya, dia itu lagi butuh guru privat. Gimana kalau lo coba aja di sana?"
"Gak ah, kata lo kan anaknya bandel, susah belajar, udah gitu bad boy."
"Lis, ini tuh kesempatan lo, dia itu konglomerat. Berapapun gaji yang lo minta dia pasti kasih."
"Serius lo Mel?"
"Iya gue serius, kalau lo mau, gue rekomendasiin lo ke temen ibu gue."
"Boleh boleh Mel, aduh ... makasih banget ya. Kalau kayak gini, biaya kuliah Reka pasti kebayar terus."
Ya, tanpa ia curhat, ia tak akan bisa mendapat jawaban dari permasalahannya selama ini. Melani, bukan hanya teman untuk Alista. Tapi baginya, Melani adalah malaikat penolong hidupnya di saat ia benar-benar rapuh.
Mentari pagi mulai tersenyum pada semesta. Disaat itulah, Melani dan Alista menginjakkan kaki mereka di salah satu rumah mewah di sebuah komplek perumahan elite. Dimana, di sana ada sumber penghasilan yang menjadi kesempatan Alista untuk menyambung hidup dirinya dan juga sang adik.
"Pagi tante Laras. Ini guru yang waktu itu saya ceritain."
"Oh Melani. Iya, ayo silakan masuk, duduk dulu. Bi Isah, tolong ambilin minum ya dua."
"Baik Nyah."
"Oh iya tante, kenalin ini temen Melan. Namanya Alista, dia sarjana S1 ilmu hukum."
Mereka mulai berjabat tangan dengan saling melempar senyum.
"Oh iya, saya dengar kamu butuh pekerjaan tambahan ya?" tanya Bu Laras.
"I ... iya bu," jawabnya gugup.
"Saya mau minta tolong sama kamu.
Kamu mau kan jadi guru privatnya anak saya? Saya gak mau dia main-main lagi. Udah banyak kasus di sekolahnya dulu. Dia lulus karena selama ini saya paksa. Saya mau kuliahin dia, tapi kayaknya dia malah leha-leha.""Kalau hanya untuk mengajar, saya bisa bu. Kira-kira, kapan saya bisa mulai?"
"Hari ini, kamu bisa hari ini?"
"Hari ini?" kagetnya.
"Iya, anak saya sebentar lagi pulang. Kamu bisa tunggu kan? Ruangannya saya sudah siapkan. Banyak buku juga di sana."
"Asik nih Lis, udah bisa mulai kerja loh," bisik Melani.
"Terima kasih bu," ucap Alista dengan senyuman lebar.
Bantuan Melani akhirnya membuat Alista mendapatkan pekerjaan. Betapa antusiasnya Alista ketika ia bahkan langsung disuruh untuk mengajar anak Bu Laras hari itu juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALISTA
Fiksi RemajaAlista harus menjadi tulang punggung keluarga setelah kematian kedua orangtuanya. Ia harus menghidupi dirinya dan satu adik laki-lakinya. Beberapa pekerjaan ia lakukan dengan keras termasuk menjadi guru privat anak orang tajir. Sebuah masalah timbul...