Sebuah sepeda motor berhenti di halaman rumah mewah dengan warna putih mendominasi bangunan. Rumah berdesain mansion Amerika itu adalah milik keluarganya Luna.
"Luna!"
"Eh Arda lo udah dateng?"
Ya, sepeda motor itu milik Arda. Bukan hanya Alan yang memang sering bulak balik untuk main ke rumah Luna untuk sekedar bertanya kabar Mamanya Luna, namun adiknya sendiri pun sering di telepon Luna untuk datang ke rumahnya. Menanyakan tentang apalagi jika bukan tentang Alan.
"Lo mau ngomong soal apa sama gue?" tanya Arda seraya melepaskan jaketnya. Ia meminum dengan bebas segelas jus yang tertera di meja teras rumah Luna.
"Soal abang gue lagi?" Arda menghela napasnya datar seraya terduduk dengan nyaman di kursi.
"Cepat tanggap lo ya Da."
"Gini Lun, gue gak bisa gitu aja ikut campur urusan abang gue nih ya. Walaupun dia ngeselin, gue masih ngehormatin dia sebagai abang gue. Masalah pribadinya, apapun itu, gue gak pernah mau ikut campur," ucap Arda memegang sebatang rokok. Ia merogoh saku celananya untuk mencari sebuah korek. Ia hendak merokok di sela melakukan pembicaraan dengan Luna.
Belum sempat Arda menyalahkan rokok yang sudah terpajang di mulutnya, pikirannya seketika teringat dengan beberapa perkataan Alista sebelumnya ketika ia merokok di depan gadis itu. Alhasil, Arda mengurungkan niatnya untuk merokok. Ia menyimpan sebatang rokoknya lagi ke dalam bungkus.
"Ngapa lo? Tumben banget," sinis Luna sambil tersenyum.
"Gak mood liat lo."
"Berani banget lo."
"Tuh, jadi tadi gue ngomong apa? Pokoknya gitu deh."
"Iya gue ngerti kok. Cuma, ya lo pasti tau kan, kak Alan gak pernah bawa perempuan lain ke rumah kan?"
"Sampai saat ini sih, kayaknya nggak. Kenapa? Lo mau ngejar abang gue ya? Aduh, nyebelin banget kalau lo yang jadi kakak ipar gue, hahaha."
"Iishhh, Arda!" teriak Luna dengan jengkel.
"Sekarang, yang gue tau dia lagi jomblo, suka-suka lo mau deketin dia bodoamat, itu terserah lo. Semangat aja ya, gue mau ke markas dulu."
Suara kenalpot motor saling bersahutan di salah satu arena balapan liar yang sering Arda dan gengnya melakulan balapan liar. Tak ada angin dan tak ada hujan, Arda membubarkan mereka seketika. Hal itu sungguh membuat keheranan semua orang. Biasanya, Arda akan langsung tancap gas untuk bersiap ikut balapan. Tapi kali itu, ia menghentikan semua teman-temannya. Bukan Arda namanya jika tak dituruti. Arda memiliki peran luar biasa untuk geng mereka. Maka dari itu, penghentian yang Arda lakukan berbuah hasil.
"Woyy!" tegas Arda.
"Arda, lo dateng juga." Tia tersenyum antusias.
"Udah lah woy, jangan balapan liar. Gue lagi malas ngelakuin hal yang gak penting-penting amat." Ucapan Arda yang sedikit bersimpangan membuat mereka terkejut. Mereka saling menatap aneh setelah mendengar ucapan Arda.
"Ji, hadiah buat cewek itu apaan sih?" Perkataan Arda makin membingungkan teman se-bad boynya.
"Apa? Buat cewek? Lo jadian sama siapa? Udah gitu lo berhentiin kita buat balapan. Eh, lo kesambet apaan?" tanya Panji.
"Nggak, gue cuma baru mau deketin dia aja sih."
"Cie elah. Arda gue mulai jatuh cinta. Kayaknya cintanya bisa mengubah dunianya nih." Hendri menimpali karena Arda benar-benar berbeda dari dirinya sebelum itu.
Salah seorang gadis bergeming mendengar pembicaraan beberapa teman laki-lakinya. Namun, yang terlihat, gadis bernama itu bukan hanya mendengar, tapi ia pun terkejut ketika mengetahui dari mulut Arda langsung bahwa ia jatuh cinta pada seseorang. Sontak, jantung Tia serasa bergetar kaget. Ia menatap tak percaya Arda yang masih memasang senyum ketika para temannya tengah menggodanya. Merasa ada yang salah pada dirinya, Tia berniat pergi dari markas. Padahal, kedatangan Arda yang selama ini ia tunggu-tunggu hari itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALISTA
Teen FictionAlista harus menjadi tulang punggung keluarga setelah kematian kedua orangtuanya. Ia harus menghidupi dirinya dan satu adik laki-lakinya. Beberapa pekerjaan ia lakukan dengan keras termasuk menjadi guru privat anak orang tajir. Sebuah masalah timbul...