Kembali pada kisah Reka. Ia selalu kerja dengan baik juga penarik customer untuk datang ke resto. Setiap customer wanita selalu meminta berfoto bersamanya. Nana memang selalu sedih saat melihat itu, di sisi lain ia sadar bahwa Reka bisa membawa keuntungan untuk restoran.
Jam istirahat berlangsung. Sebagian mereka saling bergantian makan siang. Dan kebiasaan mereka setiap istirahat adalah makan bersama. Namun kali itu, ada yang berbeda di meja mereka. Reka yang menyadari itu lebih dulu. Iya, Nana tak ada di sana. Padahal ia yang paling seru jika jam istirahat dan senang membagikan pizza pada rekan kerjanya.
"Ta, anak rese ke mana?" tanya Reka seraya menyendok semangkuk sup.
"Maksud lo Nana?"
"Emangnya menurut lo siapa lagi?!"
"Dia di rooftop, dari tadi tuh dia murung terus di sana. Gue gak tau deh, moodnya itu labil, dia seharian kerja tanpa ekspresi."
Selesai makan, Reka mencari Nana ke rooftop resto. Ternyata, apa yang dikatakan Kinta benar. Nana hanya memegang sebuah sapu di tangannya seraya melamun. Reka langsung duduk di samping Nana dan mengejutkannya. Hal itu bahkan tak Reka rencanakan. Namun, melihat Nana yang paling rajin dari mereka tak makan, membuat perhatian Reka kini sedikit terpancar pada gadis itu.
"Kak Reka?!"
"Sup gak abis gara-gara gak ada lo."
"Umm ... kak Reka ngapain? Bukannya kak Reka lagi makan?"
"Lo kenapa gak makan?"
"Nana masih kenyang."
Kruuuukkkk
Suara perut kosong sampai terdengar oleh telinga karena saking sepinya rooftop resto. Hal itu membuat Nana menunduk malu karena perut dan mulutnya tidak sinkron.
Reka tersenyum lebar akan hal itu, tangannya memegang sesuatu yang hendak disodorkannya pada Nana.
"Hhh, nih makan. Mulut sama perut itu beda." Reka memberikan sepotong roti untuk Nana.
Mata Nana mencirikan kebingungan dengan fokus menatap roti yang Reka berikan. Ia lantas mengambilnya perlahan. Sementara, Reka lantas melangkah pergi dengan senyum. Sementara itu, Nana buru-buru membuka bungkus roti itu dan melahapnya dengan girang.
•••
Sementara Alan terus menerus mengabaikan kesempatannya pada Alista.
"Ah elah bang, lo apa-apaan sih? Mau gue gantiin buat nyatain perasaan lo sama Alista?" Arda ketus.
"Ih gue tampar lo sini. Heh Da, lo kira nyatain cinta itu gampang. Lo tau gak, jantung gue hampir lepas dari badan gue."
"Gue harus bener-bener turun tangan." Arda mengernyit menatapnya tajam membuat Alan bingung.
Arda menjelaskan semua tentang wanita. Apa yang disukai, apa yang tidak sukai, juga cara menghadapinya. Saat itu Alan seperti sedang mendapat pelatihan langsung.
Merasa sudah paham dengan apa yang Arda bilang kepadanya, Alan buru-buru mengeluarkan sebuah ponsel. Kali itu, ia benar-benar memberanikan dirinya untuk menelpon Alista yang sedang libur untuk mengajar adiknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALISTA
Ficção AdolescenteAlista harus menjadi tulang punggung keluarga setelah kematian kedua orangtuanya. Ia harus menghidupi dirinya dan satu adik laki-lakinya. Beberapa pekerjaan ia lakukan dengan keras termasuk menjadi guru privat anak orang tajir. Sebuah masalah timbul...