26' Alan's Birthday

1.1K 53 0
                                    

Alista mempunyai keinginan menjadi seorang pengacara. Ia ingin sekali ikut pendidikan Advokat untuk bisa memenuhi cita-citanya itu. Namun, semua itu tak semudah membalikkan telapak tangan bagi hidupnya. Banyak hal yang harus ia pikirkan daripada egonya sendiri. Walaupun keinginannya itu begitu kuat untuk bisa masuk advokat.

"Gue harus nabung hari ini buat biaya pendidikan advokat gue dan S2 gue. Reka bilang, gue harus lakuin apa yang gue mau. Gue mau buat Reka bangga, buat Reka senang. Kalau Reka mengambil jalan yang ia mau untuk bahagia, gue pun harus bisa kayak dia, penuh semangat dan bahagia."

Seorang pria berjalan memasuki rumahnya. Ia melonggarkan dasinya yang sejenak mencekiknya. Wajahnya begitu mencirikan orang yang tengah lelah dari aktifitasnya hari itu. Langkah kaki Alan terhenti ketika ia berdiri lebih dekat dengan ruang belajar yang dipakai sang adik untuk belajar bersama guru privatnya, Alista. Sejenak, pikiran Alan dibawa ke hari kemarin ketika ia ingin berbicara sesuatu hal penting pada Alista di danau. Alan lupa bahwa ia masih punya hutang kalimat yang harus ia sampaikan ke Alista. Sebenarnya, hal itu sudah memenuhi pikirannya selama di kantor. Bayang-bayang Alista yang selama ini menghiasi matanya, kini mulai terlihat di ruang belajar itu. Bagaimana ia tersenyum, bagaimana ia memasang wajah juteknya dan bagaimana ia menangis di depannya, semuanya tiba-tiba terbayang dalam bola mata Alan.

"Alan? Kamu ngapain?"

"Eh ibu, Alan baru pulang."

Alan terlihat canggung ketika sang ibu menegurnya. Ia bahkan tanpa maksud menatapi ruangan itu sedari tadi dan lupa bahwa itu harus ke kamar dan membersihkan tubuhnya.

"Kok malah bengong di sini? Ayo cepet kamu mandi, nanti langsung makan. Ibu udah siapin makanannya."

"Iya bu. Eh, Arda belum pulang kuliah bu?"

"Dia bilang sih setelah kuliah dia mau ke rumah Panji."

"Itu anak, bukannya pulang malah main. Awas aja kalau dia balapan liar lagi."

"Suutt, kamu gak boleh gitu sama adik kamu. Positive thinking aja Alan. Adik kamu kan udah mulai jadi orang yang lebih baik."

Sementara, keberadaan Arda membuat Panji merasa risih sesekali. Pria itu bahkan seenaknya datang dan pergi ke rumahnya. Rumah Panji, layaknya rumah nenek bagi Arda sendiri. Ia bebas melakukan hal di sana, dan terlebih lagi, Arda begitu akrab dengan Mama dan Papanya Panji sejak kecil. Itu kenapa, Panji selalu dibilang kakak kedua bagi Arda sendiri. Apalagi mereka terlihat memang selalu bermain bersama sejak SMA.

"Ah elah susah banget sih ini tugas. Ji, bantuin gue dong." Arda mengeluh sekaligus memohon pada Panji.

"Giliran tugas aja lo lari ke gue. Kapan lo mau mandiri, kerjain sendiri dong."

"Lo kan pinter Ji, gue traktir deh nanti malam."

Panji akhirnya mau membantu Arda mengerjakan tugasnya. Bukannya mengikuti arahan Panji, Arda malah memainkan sebuah game di ponselnya. Arda memang seperti itu, selalu bertindak layaknya raja, karena memang dari kecil hingga saat ini, sifat Arda tidak pernah berubah. Panji yang lebih dewasa darinya, sejak kecil, ia yang selalu setia membantu setiap kegiatannya, dan membantu menjalani kehidupan sulitnya selama ini.

Panji menyinggung tentang guru privatnya, membuat Arda seketika berhenti bermain gadgetnya.

"Gue bingung Ji."

ALISTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang