Jujur saja, Alan terus menerus mengingat sosok Alista. Tak pernah ia pungkiri, ia memikirkan seseorang hingga sejauh itu. Di umurnya ke-25, belum pernah Alan memikirkan orang lain kecuali diri dan keluarganya. Kini, layaknya ada perubahan dalam hidupnya yang muncul tiba-tiba.
"Kayaknya ada yang lagi jatuh cinta nih."
"Ish, bocil ngomong cinta cintaan. Belajar sana lo!"
"Bang, gue udah bantu lo buat ngubah Alista supaya lebih cantik gitu. Masa lo cuma negur dia aja, payah banget."
"Apa? Gue gak payah, gue nganterin dia pulang kok." Alan berusaha membanggakan diri.
"What? Terus terus gimana gimana?"
"Yaaaa, terus udah sampe ya gua pulang lagi," ucap Alan dengan polos.
"APA? Hadeh! Punya abang satu, punya nilai terendah dalam ngadepin cewek. Cuma itu aja bang? Lo yakin?"
"Ya, emangnya apa?"
"Gak, gak apa-apa. Mending gue molor deh dari pada ngobrol sama lo. Lain kali gue ajarin lo caranya ngadepin cewek." Arda pergi ke kamarnya.
"Heh bocah ingusan lo tau apa soal cewek. Pake celana aja belum bener, pake ngajarin gue segala. Tapi Arda ada benernya juga," gumamnya.
•••
Perkataan Alan mengiang dipikiran Alista kala memujinya cantik saat di dalam mobil waktu itu.
"Kenapa gue senang cuma dengar kata itu ya?" batin Alista. Ia bahkan tersenyum tipis saat itu.
"Oh iya apa yang gue mau kasih ke Alan, dia kan punya segalanya," gumamnya.
Pagi hari itu, Alista berkunjung ke mall untuk mencari birthday gift untuk Alan. Ia bahkan peduli tentang perkataan Alan yang awalnya hanya ejekan.
"Gue bingung, hadiah apa yang cocok buat cowok?"
Begitu bingungnya Alista mondar-mandir di salah satu stan pakaian, mengharuskannya untuk menelpon Melani. Ia menceritakan segalanya tentang malam itu dan hadiah Alan pada sahabatnya itu.
"Alan minta birthday gift sama lo?"
"Iya. Gue lupa Mel. Gue kira acaranya itu biasa-biasa aja cuma acara keluarga, taunya itu kayak jamuan tamu presiden Mel."
"Gue saranin lo ..... gimana?" Melani berbisik sambil terkekeh.
"Ih masa itu Mel, gak ah. Orang tajir kayak dia mana mau barang murahan."
"Heh, gue tau Alan kayak gimana. Dia bukan orang yang suka nunjukin kekayaannya sama semua orang, dia pasti lebih ngeliat ketulusan orang itu."
"Gue harap sih begitu."
Beberapa jam kemudian setelah mengajar Arda, mereka akhirnya bertemu. Jujur saja, hal itu membuat Alan begitu antusias.
"Nih buat kamu, maaf telat kakaknya Arda."
"Apa ini?"
"Jangan buka hadiahnya di sini, kamu buka kalau udah sampe rumah aja."
"Kenapa emang?"
"Ya gak apa-apa. Pokoknya kamu gak boleh buka sekarang."
Deringan ponsel Alista menghentikan obrolan singkat mereka.
"Halo, Bagas. Ada apa nelpon gue? ... oh, iya iya nanti gue ke sana."
Ucapan Alista dalam panggilan itu menghentikan mata Alan untuk menatapi kotak hadiahnya.
"Bagas? Siapa dia? Setau gue Alista belum pernah punya temen cowok," batin Alan bertanya-tanya. Ia sungguh penasaran dengan nama seorang lelaki yang Alista panggil dalam sambungan teleponnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALISTA
Teen FictionAlista harus menjadi tulang punggung keluarga setelah kematian kedua orangtuanya. Ia harus menghidupi dirinya dan satu adik laki-lakinya. Beberapa pekerjaan ia lakukan dengan keras termasuk menjadi guru privat anak orang tajir. Sebuah masalah timbul...