Lemparan demi lemparan bola basket saling berpindah tangan. Reka latihan basket lagi untuk ikut ke dalam turnamen yang sering ia dan timnya ikuti. Ia lebih rajin untuk latihan demi mengasah terus skill bermain basketnya.
"Woy, break dulu. Haus nih," ucap Dika, rekan se-timnya.
Reka menenggak seluruh air yang terisi dalam sebuah botol minuman. Alih-alih minum, matanya malah memencar ke setiap sudut tempat latihan yang terlihat hanya mereka saja yang melakukan latihan di hari itu.
"Si pengacau tumben banget dia gak ngikutin gue." Ternyata, ada alasan kenapa mata Reka memencar. Serasa kehilangan sesuatu yang telah membiasakan matanya, ia membatin tak sengaja mencari gadis bernama Nana. Walaupun, gadis itu memang sempat menjengkelkan dirinya.
Bukan hal biasa ketika Nana tak terlihat matanya. Karena gadis itu selalu muncul di manapun ia berada. Mengikutinya layaknya bodyguard, dan terus ingin menempel bersama dirinya seperti permen karet. Tapi hari itu, matanya tak menangkap sosok Nana. Tak sengaja, Reka memang sedang mencarinya.
"Cari siapa lo Rey?" tanya Anjas.
"Mungkin hantu yang nyamar jadi pak Tarjo, hahahah." Dika terkekeh.
"Gak jelas lo!"
Setelah melakukan latihan pagi, Reka kembali untuk melakukan pekerjaan part timenya. Hari itu, ia tak memiliki jadwal dalam perkuliahan. Di dalam restoran yang tengah ia bersihkan mejanya, mata Reka terus memencar layaknya mencari seseorang. Ia bahkan sempat ke dapur, ke rooftop, bahkan ke toilet dengan canggung untuk mencari sesuatu yang tak biasa oleh matanya.
"Cari Nana?" Tomi menghampiri dengan senyum menepuk pundak Reka perlahan.
"Hah? Nggak, gue lagi beresin ini."
"Dia sakit. Dia izin hari ini."
Reka menoleh perlahan pada Tomi. Namun, ia terus mempersibuk tangannya untuk membersihkan meja.
"Gue gak nanya bang."
"Gue rasa lo pengin tau. Pake banget," ucap Tomi terkekeh berisik di telinga Reka. Setelah berhasil mengejek, Tomi pergi meinggalkan wajah Reka yang memerah karena ejekannya.
Di pintu utama, terlihat seseorang yang tergopoh berjalan memasuki restoran. Reka segera mungkin untuk menyambutnya masuk, memberikan pelayanan terbaik pada customernya. Namun, wajahnya mengerut heran ketika bukan lah customer yang ia lihat, melainkan Nana. Gadis yang Tomi bilang izin karena sakit. Namun, ia muncul tiba-tiba ke restoran dengan wajah pucat.
"Nana! Bukannya lo tadi izin sakit? Kenapa masuk?" tanya Tomi menghampiri Nana dengan wajah keheranan.
Reka melihatnya bingung sendiri. Jujur saja, dalam benaknya, wajah Nana terlihat begitu pucat seakan memaksakan dirinya untuk bekerja.
"Nana, lo kenapa masuk? Lo masih pucet gini juga," ucap Sintia, rekan kerjanya.
"Gue gak apa-apa kok Sin. Gue kerja karena kemauan gue sendiri," ucap Nana dengan nada begitu lemah.
"Maksain diri banget sih tuh anak, pucet gitu juga," batin Reka yang diam-diam melirik Nana dari kejauhan.
Jam kerja yang padat membuat mereka sibuk masing-masing. Customer yang tak henti datang membuat energi mereka lebih terkuras dari hari biasanya karena hari itu adalah weekend. Reka sendiri tak henti untuk memperhatikan Nana dari kejauhan. Sikap Nana dalam bekerja yang tak biasa membuatnya begitu khawatir. Ia mungkin berpikir jika Nana tengah memaksakan dirinya. Padahal, keselamatan para pekerja di Restoran dijunjung tinggi Pak Manager dan seluruh pekerja di sana.
Nana terlihat memejamkan matanya beberapa kali. Wajahnya begitu pucat tak terlihat segar. Matanya memejam lagi dengan erat dan tubuhnya mulai tak bisa menjaga keseimbangan untuk berdiri. Dengan sergap, Reka refleks menghampiri dan menopang tubuh Nana yang hampir terjatuh pingsan dengan tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALISTA
Teen FictionAlista harus menjadi tulang punggung keluarga setelah kematian kedua orangtuanya. Ia harus menghidupi dirinya dan satu adik laki-lakinya. Beberapa pekerjaan ia lakukan dengan keras termasuk menjadi guru privat anak orang tajir. Sebuah masalah timbul...