Dering ponsel membuat Reka penasaran. Dan nomor tanpa nama pun membuatnya lebih penasaran. Di sela pekerjaannya, ia mengangkat telepon tersebut. Setelah selesai dari pekerjaannya, Reka terlihat duduk berdua bersama Alan di sebuah cafe.
"Apa? Melamar kak Alista?" Ucapan keras Reka karena terkejut membuat beberapa orang menoleh. Hal itu membuat Alan kaget dan menyembunyikan wajahnya.
"Saya minta izin sama kamu Reka, bagaimana pun keluarga yang Alista punya itu cuma kamu."
"Kenapa harus izin sama gue bang? Bang Alan aja yang melamar langsung, gue seneng kok kalau kak Alis bahagia."
Setelah melakukan perkuliahan, Alista melanjutkan pekerjaan shif siangnya hingga malam hari. Hal itu tentu membuatnya pasti sangat lelah. Malam tiba, setelah menaiki taksi beberapa menit, ia akhirnya menginjakkan kakinya di halaman depan. Dan Alista belum tahu kalau Alan telah menunggunya selama dua jam di depan rumahnya. Bahkan tanpa duduk.
Arda baru saja sampai setelah melewati halaman belakang rumah Alista atas perintah Reka. Mereka akhirnya mengintai Alan dari luar rumah Alista.
"Woy! Abang gue dari tadi berdiri aja kayak gitu?" Arda heran.
"Iya."
"Apa yang dia rencanain?" Arda penasaran. Karena Alan pun tak memberitahu apa rencananya saat itu.
"Heh, jangan berisik, lo bisa ganggu konsentrasi abang lo."
"Iya ngerti gue."
Beberapa lampu menyala tiba-tiba mengejutkan Alista yang baru saja memasuki halaman depan rumahnya. Ia terhenti dan bingung melihat lampu warna-warni itu memenuhi halaman rumah. Ia pun sempat mengira bahwa Reka telah mengajak temannya untuk BBQ party.
"Akhirnya dia pake ide gue juga," gumam Arda seraya mengintip keadaan luar.
"Hah, ide yang kuno," gumam Reka menghela napasnya sambil terkekeh.
"Lo liat aja hasilnya."
Alista menatapi setiap lampu-lampu itu dengan heran.
"Apaan sih ini? Reka ngadain pesta lagi?" gumam Alista.
Alan berbalik terkejut ketika melihat Alista telah sampai, namun gadis itu belum sadar akan kehadirannya membuat Alan jengkel sendiri. Ia sudah berdiri selama dua jam tanpa duduk membuat seluruh kakinya merasa nyeri.
"Kok lama sih pulangnya?"
Alista terkejut hingga menjatuhkan buku dari tangannya.
"Alan, ngapain kamu di sini?"
Alan begitu salah tingkah. Namun, ia pun memberanikan diri untuk menyatakan apa rencananya itu.
"Apa gak capek setelah kuliah, kerja? Sampe saya harus nemuin kamu di sini. Kamu bisa ambil cuti padahal. Saya udah seharian pasang lampu-lampu ini," gumam Alan meringis sambil merasakan nyeri kakinya.
Alista merengut heran apa perkataan Alan. Sikapnya pun begitu aneh Alista pandang.
"Jadi, ini semua kamu yang lakuin? Apa maksudnya?" tanya Alista polos.
"Emm .... Alista ... saya gak tau lagi harus apa. Yang saya tau, saya gak mau kehilangan kamu sampai kapanpun. Pertama kali liat kamu, entah apa yang terjadi sama hati juga jantung saya. Saat natap wajah kamu, mereka malah menggebu." Ucapan Alan dari hatinya yang paling dalam.
Alista mendengarkan setiap perkataan Alan dengan baik, matanya melebar tajam dipenuhi kilau bening. Ia pun sempat bingung dengan kelakuan Alan.
"Alan, sebenarnya apa sih yang kamu lakuin di sini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ALISTA
Fiksi RemajaAlista harus menjadi tulang punggung keluarga setelah kematian kedua orangtuanya. Ia harus menghidupi dirinya dan satu adik laki-lakinya. Beberapa pekerjaan ia lakukan dengan keras termasuk menjadi guru privat anak orang tajir. Sebuah masalah timbul...