Arda pergi dan berdiam diri di pinggir danau. Ia mengingat semua tentang kakaknya dan akhirnya ia mulai menangis.
Tia mendengar kabar tersebut dan langsung pergi ke rumah sakit, namun Arda tidak ada. Tia langsung pergi ke danau, melihat seorang lelaki yang sedang merasakan kesenduan tingkat atas yang belum pernah ia lihat dari seorang Arda. Mata Tia ikut berkaca melihat Arda menangis sejadinya di sana.
"Temenin abang lo Da." Ucapan Tia membuat Arda kaget.
"Gue gak tau gue harus gimana lagi sekarang, gue gak tau kenapa ini semua terjadi."
Arda menundukkan kepalanya. Ia menangis saat itu. Tak tahu lagi harus bagaimana, dengan sergap Tia memeluknya dengan erat dari belakang.
*
Terlihat begitu tenang wanita yang tertidur, dengan kepala yang bersandar di ranjang suaminya terbaring lemah. Ya, dia Alista.
"Alista, bangun. Aku di sini."
"Alan, Alan kamu mau ke mana?"
"Tunggu aku Alista, aku gak akan pergi ninggalin kamu."
Alista terbangun, wajahnya terkejut penuh dengan keringat. Dadanya merasa sesak. Ia baru saja bermimpi tentang Alan. Bahkan, dalam mimpi saja Alan mampu berjanji padanya. Namun, kesenduannya malah bertambah ketika Alan belum kunjung membuka matanya secara nyata. Jahitan di bagian rahangnya terlihat menyakitkan bagi Alista.
"Alan! Alan bangun Alan." Alista terus memegang erat tangan Alan.
Pak Beni memberitahu berita tentang perusahaan pada keluarga Alan. Seluruh keluarga berkumpul saat itu.
"Apa?" Arda kaget.
"Kenapa Luna ngelakuin itu semua? Bahkan ibu gak tau kalau Alan kerjasama dengan Luna." Bu Laras begitu cemas.
"Gimana ini bu? Bapak sedang kebingungan untuk ini. Bapak sekarang ada di rumah sakit karena terlalu syok mendengar hal ini," ucap sekretaris Alan.
Bu Laras makin terkejut. Wajahnya menjadi panik bersambung cemas.
"Gimana kondisi Bapak?"
"Bapak sudah ditangani dokter, ibu tenang saja. Adik ibu sudah berada di sana," sahut Pak Beni.
"Gue gak bisa biarin ini. Gue mau turun tangan langsung ke perusahaan."
Arda mengejutkan Bu Laras sekaligus sekretarisnya Alan.
"Arda, kamu yakin dengan ini?"
"Arda lumayan lama belajar bisnis. Arda masih ingat kata-kata Ayah dulu, dalam bisnis itu gak ada kata teman, kita harus berdiri sendiri, berjalan sendiri, dan bangun sendiri. Saya akan bicara sama Luna soal ini. Jika saya bisa mengembalikkan kondisi saham dan juga masalah perusahaan lainnya, saya akan mengajukan pembatalan kontrak itu."
"Saya akan bantu kamu Arda," ucap pak Beni.
Bu Laras lantas memeluk Arda dengan hangat. Air mata yang mengalir membuat tekad Arda semakin kuat.
"Ibu mohon nak, tolongin abang kamu," ucap Bu Laras dengan tangisnya.
"Itu pasti bu. Do'ain Arda bu."
Luna mendengar berita tentang Alan dan pergi ke rumah sakit dengan tergesa. Sampai di rumah sakit, ia dihadang oleh Bu Laras.
"Buat apa kamu ke sini?" Mata Bu Laras menatapnya dengan tajam. Serasa penuh emosi yang menekan.
Luna memasang wajah sendunya. Ia bahkan tak bisa melakukan apapun saat itu.
"Tante, maafin Luna tante. Luna mau liat kak Alan. Luna mohon tante." Luna menangis seraya memohon.
"Pergi! Sebelum tante panggilkan keamanan untuk nyeret kamu keluar dari sini."
Kedua mata tajam menyorot Luna begitu dalam. Ya, Arda begitu emosi bahkan saat ia hanya melihat Luna. Sungguh, tak menyangka dengan gadis yang sangat menyukai kakaknya itu bisa berbuat hal yang malah membuat sang kakak menderita. Arda membicarakan tentang perusahaan dengannya. Terlebih, sebuah perjanjian yang Arda berikan untuk membuat perusahaannya kembali stabil walau ia harus terjun sendiri.
"Lo sepakat apa yang gue bilang?" tanya Arda. Ia sungguh memendam rasa benci pada Luna dalam lubuknya.
Luna hanya mengangguk. Ia merasa terpukul sekaligus menjadi orang yang jahat hanya karena cintanya saat itu. Sebenarnya rencana itu sudah ada dipikirannya setelah Alan menikah dengan Alista. Namun, ia tak pernah tahu kalau apa yang ia lakukan benar-benar menghancurkan dan melukai Alan.
Sudah tiga hari Alan terbaring koma. Setiap hari, Alista selalu merawatnya dengan baik. Ia terus mengajak Alan bicara, walaupun sang suami masih terlelap dalam koma.
Bu Laras datang dengan kesenduan menatap seorang istri yang setia menunggu suaminya untuk bangun selama berjam-jam. Alista bahkan belum juga pulang untuk mengistirahatkan dirinya walau Bu Laras bicara akan menggantikan Alista untuk menjaga Alan.
"Nak, Alan akan baik-baik aja. Kamu harus jaga kesehatan kamu juga Alista. Kamu harus istirahat di rumah, biar ibu yang ganti kamu jaga Alan. Kamu harus makan makanan bergizi supaya kamu punya energi untuk menyemangati suami kamu."
"Maaf bu. Alista gak mau ninggalin Alan. Alista takut, kalau Alan bangun ... Alista gak ada di depan matanya."
**
Cuaca Bandung di pagi hari begitu menyejukkan. Jam selalu berdetik mengiringi setiap kehidupan. Sebuah cahaya mentari melewati celah jendela dan menyoroti kedua mata yang masih terpejam tenang. Cahaya mentari semakin kuat menyinari matanya, hingga matanya terbuka. Sebuah tangan terasa meraba kepala Alista ketika ia baru saja terbangun dari tidurnya dengan posisi terduduk di samping ranjang suaminya. Matanya melebar ketika ia menoleh perlahan ke sebuah tangan yang menjulur. Jantungnya berdekup begitu kencang setelah melihat Alan akhirnya terbangun dari komanya. Alista segera menjamahi tangan Alan. Ia membuka matanya lebar-lebar menatap Alan.
"Alan?" Alista begitu panik terlihat. Ia lantas memeluk suaminya dengan erat diselingi tangis bahagianya.
"Kamu kenapa tidur di sini?" tanya Alan begitu lemah.
"Aku panggilin Dokter."
Dokter memeriksa kondisi Alan. Seluruh keluarga sudah berada di sana.
"Sungguh keajaiban Tuhan ia bisa terbangun dari koma ini. Kondisinya masih lemah. Kami akan beri perawatan untuk pemulihan hingga kondisinya stabil."
"Bu, Alan mau ke kantor bu, Alan mau selamatin karyawan Alan bu." Air matanya kemudian mengalir perlahan. Bahkan saat terbangun dari koma pun ia masih memikirkan para karyawannya.
"Alan, kamu gak usah mikirin itu, kamu istirahat aja dulu. Kamu baru aja bangun dari koma," ucap Alista begitu cemas.
"Dokter, kok bisa? Dia koma tiga hari tapi dia gak lupa sama kejadian buruk yang menimpa dia?" tanya Bu Laras.
"Saya juga bingung. Berarti, Pak Alan punya memori yang kuat, syaraf otaknya juga saya periksa tetap stabil."
Beberapa hari kemudian, Alista terlihat mendorong kursi roda yang di isi oleh suaminya itu. Mereka menuju rumah dengan senyuman lebar. Akhirnya, Alan telah masuk pemulihan dan telah diizinkan untuk pulang.
Arda begitu bahagia melihat sang kakak, hingga ia memeluk kakaknya perlahan yang duduk di kursi roda. Mereka kemudian berbincang perihal perusahaan yang mengharuskan Arda menggantikan posisi Alan untuk menuntaskan segala masalah.
"Lo gak usah khawatir, biar semua ini gue yang urus. Gue mau tau tentang detail perusahaan yang lengkap. Dan soal kontrak itu, tolong jelasin ke gue bang."
Detik itu Alan menjelaskan segala permasalahan perusahaan. Ia memang mengakui bahwa ada unsur kelalaian yang Alan lakukan ditambah ancaman Luna yang di luar nalar membuat Alan harus kehilangan perusahaannya. Hal itu membuat Arda harus merebut kembali hak Alan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALISTA
Teen FictionAlista harus menjadi tulang punggung keluarga setelah kematian kedua orangtuanya. Ia harus menghidupi dirinya dan satu adik laki-lakinya. Beberapa pekerjaan ia lakukan dengan keras termasuk menjadi guru privat anak orang tajir. Sebuah masalah timbul...