Ian sudah ditangani oleh dokter ketika mereka sampai di rumah sakit terdekat. Kata dokter yang menangani Ian, Ian terkena asam lambung kronis yang mengakibatkan dirinya pingsan.
Mbak Anita menghela nafas lega ketika mengetahui kalau Ian baik-baik saja. Ian masih berada di UGD dan tertidur pulas dengan selang infus yang masih menancap di punggung tangannya.
Sebelumnya, Mbak Anita sudah menghubungi keluarga Ian serta Dimas. Dimas yang mendengarnya langsung meluncur menuju rumah sakit.
"Mbak Anita." panggil seseorang ketika Mbak Anita tengah terduduk di kursi ruang tunggu. Mbak Anita sontak mengangkat wajahnya dan menatap siapa yang memanggil dirinya. Ternyata lelaki yang telah menolong Ian.
Mbak Anita tersenyum simpul tanpa ada niatan untuk berbasa-basi dengan lelaki ini. Tapi ada satu hal yang menarik perhatian Mbak Anita kalau lelaki ini menggunakan jubah dokter dengan logo rumah sakut temoat di mana Ian di rawat untuk saat ini. Berbeda ketika ia tengah menolong Ian.
"Wow and he is successfully a doctor now." kata Mbak Anita dalam hati.
Lelaki itu berjalan mendekati Mbak Anita, derap langkahnya begitu mantap dengan Onitsuka Tiger yang ia pakai serta lantai rumah sakit yang bergesekan sehingga menimbulkan kesan dramatis.
Mbak Anita nyaris menyeringai jika ia tidak cepat-cepat mengontrol dirinya.
"Pertemuan yang tidak pernah terduga, ya?" kata lelaki itu dan kini ia sudah mengambil tempat duduk di sebelah Mbak Anita. Mbak Anita melirik lelaki di sebelahnya ini sambil tersenyum simpul.
"Ya benar." jawab Mbak Anita singkat.
"Yang pingsan tadi itu, siapa?" tanyanya penasaran.
"Karyawan saya." jawab Mbak Anita singkat lagi.
"But anyway, terima kasih banyak atas pertolongannya." Mbak Anita berterima kasih dengan sungguh-sungguh. Lelaki itu terkekeh.
"What I have done is not comparable to what you have done to me before. I should thank you"
Kali ini Mbak Anita benar-benar tersenyum bukan senyum simpul ala kadarnya. Senyum hangat.
"Tapi saya memang benar-benar senang bertemu dengan Mbak Anita lagi. Our idol during high school." pada kalimat terakhirnya ia membubuhkan sedikit nada bercanda yang tak khayal membuat Mbak Anita terbahak-bahak.
"Dokter Barry, pasien sudah siap." tiba-tiba seorang suster datang menghampiri mereka mengatakan kalau lelaki itu sudah harus mulai praktek.
"See you when i see you, Mbak. Titip salam saya untuk yang lainnya." katanya sebelum beranjak pergi. Mbak Anita mengangguk sambil tersenyum ramah lalu menjawab, "pasti saya sampaikan. Kepada Angkasa, Abdul, dan Reza."
Ya, dia adalah Barry. Salah satu empat sekawan yang sudah tak lagi berkawan dengan kawan-kawannya. Lelaki yang dilayangkan bogem mentah oleh Angkasa beberapa waktu lalu.
Mbak Anita menatap kepergian Barry dengan hati yang menghangat. Ia ingat betul ketika Angkasa, Barry, Abdul, dan Reza masih berkumpul bersama sehabis pulang sekolah disetiap harinya. Biasanya mereka berkumpul di rumah Angkasa. Mereka begitu solid. Siapa yang menyangka kalau persahabatan mereka harus bubar jalan hanya karena sebuah kesalah pahaman.
***
Dimas nyaris berlari jikalau tidak ditahan oleh Mas Kukuh.
"Ian tidak apa-apa, Dim." Mas Kukuh menenangkan Dimas. Tapi namanya juga Dimas mana mau dia mendengarkan apa kata orang lain jika dalam keadaan panik seperti ini. Apa lagi sudah menyangkut Ian.
"Mana Ian?" tanya Dimas langsung ketika melihat Mbak Anira tengah mengurusi administrasi.
"Masih tidur. Jangan ganggu." Mbak Anita menunjuk ke salah satu bilik yang ditutupi tirai hijau. Sejurus kemudian Dimas berjalan cepat dan menyibakan tirai tersebut dan langsung di dapatinya Ian tengah tertidur pulas.
"Tuh kan, anaknya lagi bobo enak kok." kata Mas Kukuh santai.
Dimas meraih tangan Ian yang tidak diinfus dan menggenggamnya dengan pelan nan hangat.
"Bikin aku khawatir sudah jadi kebiasaan kamu ya, Yan?" tanya Dimas pelan pada Ian yang masih tertidur.
Mas Kukuh dan Mbak Anita yang berada di belakang Dimas mau tak mau menerbitkan seutas senyum.
***
Ian pulang pada malam harinya, syukurnya kondisi tubuh Ian semakin membaik dan ia tidak perlu dirawat inap. Dimas yang tak pernah sedikitpun beranjak dari sisi Ian mengantar Ian pulang ke rumah meskipun Ian sudah meminta Dimas tidak perlu repot-repot karena nanti ada Harris yang akan menjemputnya.
Civic Dimas berhenti tepat di depan rumah Ian. Ian yang sepanjang perjalanan ternyata tertidur, membuat Dimas enggan membangunkannya. Ia membiarkan gadisnya ini tertidur sampai puas dan terbangun sendiri.
Dimas memandangi wajah cantik Ian yang tengah tertidur. Ia merasa damai sekali ketika melihat Ian tidur ditambah deru bafas Ian ya terartur bagai lagu pengantar tidur.
Dimas menyingkirkan anak rambut Ian yang g menutupi sebagian wajahnya. Dan tangannya mulai turun menjelajahi wajah Ian. Dari mulai alis Ian, kedua mata Ian, hidung Ian hingga berakhir pada bibir mungil Ian yang beberapa waktu lalu ia kecup manis.
Dimas tersenyum hangat. Ia begitu mencintai gadisnya ini. Ketika matanya masih menatap dalam wajah Ian, pelan-pelan Ian membuka matanya dan langsung terkejut ketika mengetahui kalau ia sudah sampai di rumahnya.
"Kok, tidak bangunin aku?" protes Ian yang membuat Dimas tersenyum.
"Kamu tidurnya pulas banget. Mana tega aku bangunin kamu."
"Terima kasih ya, Dim. Aku turun ya?"
"Wait! Biar Aku bukain pintunya." Dimas turun mengitari mobil dan membukakan pintu untuk Ian. Ian terkekeh melihat aksi Dimas.
Dimas ternyata juga turut menuntun Ian hingga benar-benar sampai di depan pintu rumahnya.
"Ya ampun! Mama benar-benar khawatir, Abriana." Dona yang menyambut kepulangan Ian memeluk Ian hangat.
"Makasih ya, nak, sudah merepotkan. Padahal tadi si Om mau yang bawa pulang tapi sudah keburu sama kamu." Dona menggenggam tangan Dimas sambil mengelusnya lembut. Dimas merasa kikuk tapi tak khayal ikut tersenyum juga.
"Sudah seharusnya saya begitu, Tante."
"Kamu mau mampir dulu? Makan atau minum." tawar Dona.
"Terima kasih tante, saya langsung pulang saja." tolak Dimas halus. Dona sedikit kecewa tapi akhirnya ia melepaskan Dimas untuk pulang.
Dimas pamit kepada Dona dan Ian."Masuk saja, aku tidak usah diantar." kata Dimas ketika melihat Ian mau mengantarnya sampai pagar. Ian menuruti dan ia melambaikan tangannya ketika Civic Dimas mulai meluncur meninggalkan rumah Ian.
***
Angkasa menancapkan gasnya dalam-dalam ketika di dapatinya sebuah mobil tengah terparkir di depan rumah Ian. Dan hari ini merupakan hari ke tujuh Angkasa sengaja memutar mobilnya untuk melewati rumah Ian sebelum ia pulang ke rumahnya sendiri.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Fat Love (COMPLETED)
RomanceMungkin disebagian orang mengatakan kalau kecantikkan itu dinilai tidak dari fisik melainkan dari hati yang tentu teori tersebut tidak valid bagi Ian. Hampir separuh hidupnya ia harus menelan pil pahit segala ejekkan dari teman-temannya atau bahkan...