Sesampainya Lyla Kim di apartemennya ia langsung menghempaskan birkinnya dengan asal padahal ketika ia baru membelinya gadis itu selalu menjaga birkinnya dengan segenap jiwa dan raga bagai tas tersebut adalah separuh nyawanya. Lyla juga turut melepaskan pump shoes-nya dengan kasar setelah itu ia menyerukkan tubuhnya ke atas sofa yang berada di ruang tengah.
"I hate you cewek gendut!!!!!!" teriak Lyla kalut yang mengisi ruang kosong di hadapannya.
***
"Ian! Kamu gak apa-apa?" tanya Mbak Anggit dengan khawatir. Ia baru saja mendapat kabar kalau anak buahnya terluka akibat pecahan cangkir teh tadi. Ian yang tengah menuntaskan pekerjaannya di kubikelnya tersenyum sambil berkata, "sudah diobati kok. Besok juga sembuh."
Mendengar ucapan Ian barusan membuat Mbak Anggit berang.
"Mana mungkin besok sembuh. Kamu harus ke dokter takut-takut infeksi dan semakin parah."
"Saya antar ke dokter sekarang ya?"
Ian menggelengkan kepalanya sambil mengibaskan tangannya. Ia merasa sungkan jika lady boss-nya ini harus repot-repot menemaninya ke dokter.
"Tidak perlu, Mbak. Saya rencananya pulang kantor memang mau ke dokter. Terima kasih perhatiannya mbak. Tapi saya benar-benar tidak apa-apa." tukas Ian yang membuat perempuan yang berusia pertengahan 40 tahun itu menghela napasnya pasrah.
***
Ian tidak berhenti meringis ketika rasa nyeri di telapak tangannya timbul. Sesekali Ian berusaha tidak menggubris rasa nyeri tersebut tapi akhirnya ia menyerah. Ian membereskan meja kerjanya, memasukkan ponsel, dompet, serta barang-barang penting lainnya.
Dimas yang semenjak tadi tak pernah meluputkan pandangannya dari punggung Ian langsung bangkit dari duduknya dan menghampiri gadis itu.
"Yan, you okay?" tanya Dimas yang membuat Ian menghentikan aktifitasnya.
"Tangan gue semakin perih. Gue harus ke dokter, Dim. Tolong bilangin sama Mba Marta yah gue izin." terang Ian seraya meminta tolong pada Dimas untuk meminta izin pada Mbak Marta orang HRD. Tanpa jawaban Dimas langsung melesat menuju sayap kiri lantai 6 di mana HRD berada, tak sampai 10 menit Dimas sudah kembali ke kubikel Ian.
"Sudah?" tanya Dimas ketika melihat Ian berjalan keluar dari kubikelnya. Ian memiringkan kepalanya bingung dengan maksud dari pertanyaan Dimas.
"Sebentar gue ambil tas gue dulu. Gue antar lo." Dimas berjalan cepat ke kubikelnya mengambil tasnya. Sasa yang kubikelnya tepat di belakang Dimas bertanya, "mau ke mana Dim?"
"Anterin Ian ke RS." jawab Dimas tanpa menoleh ke arah Sasa. Sasa ingin bertanya lebih lanjut tapi ia urungkan karena di mata Sasa hanya wajah khawatir Dimas yang tertera. Rasanya ia ingin mencegah Dimas untuk pergi.
***
Selama di lift Dimas tidak berhenti memandangi wajah Ian yang tengah menahan rasa sakit di tangannya. Ia ingin sekali merengkuh gadis itu atau berharap sakitnya Ian berpindah kepada dirinya saja.
"Ting!" lift berbunyi menandakan telah sampai di lobi. Ian dan Dimas langsung keluar dari lift dan berjalan menuju basemen.
"ABRIANA!" seru seseorang yang memanggil nama Ian dari arah lobi. Baik Ian maupun Dimas langsung memutar tubuh mereka untuk melihat siapa yang memanggil Ian dengan berteriak seperti itu sehingga menarik perhatian banyak orang yang berada di lobi menoleh ke arah sumber suara.
Angkasa berjalan cepat nyaris berlari membelah lobi menuju Ian dan Dimas berdiri. Tapi sesaat kemudian Dimas langsung menggenggam tangan Ian yang tak luka dengan erat. Ian sempat terkesiap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fat Love (COMPLETED)
RomanceMungkin disebagian orang mengatakan kalau kecantikkan itu dinilai tidak dari fisik melainkan dari hati yang tentu teori tersebut tidak valid bagi Ian. Hampir separuh hidupnya ia harus menelan pil pahit segala ejekkan dari teman-temannya atau bahkan...