Pagi-pagi sekali Ian sudah stand by di Starbucks yang berada di salah satu mall di bilangan Jakarta Selatan. Kalau bukan karena Bang Mono ia enggan harus sepagi ini untuk meeting dengan klien barunya. Oh iya mungkin Ian lupa bercerita kalau Ian merupakan editor freelance yang saat ini tengah bekerja sama dengan salah satu majalah kecantikkan yang kini tengah naik daun. Sebenarnya latar belakang Ian merupakan lulusan komunikasi tapi hobinya dalam bidang tulis menulis membuatnya mengambil perkerjaan sebagai editor menjadi salah satu sumber pundi-pundi rupiahnya. Meskipun tergolong freelancer yang kata orang kadang ada atau tidak tapi Ian sudah bisa membeli beberapa barang branded, jalan-jalan ke luar negeri bahkan nonton konser artis Kpop kegemarannya.
Omong-omong soal Bang Mono, beliau merupakan kakak tingkat Ian ketika kuliah dulu. Dulu Mono merupakan ketua jurnalis kampus dan kebetulan Ian salah satu anggotanya dan kala itu Mono melihat potensi Ian yang luar biasa hingga akhirnya Mono lulus kuliah dan menjadi seorang jurnalis yang sesekali menjadi seorang editor lalu ia tidak sengaja bertemu dengan Ian kembali setelah sekian lama tidak jumpa dan dari situlah Mono meminta Ian untuk membantunya sebagai editor freelancer.
Ian menyeruput Americano-nya. Sudah hampir setengah jam batang hidung Bang Mono tidak terlihat. Starbucks yang tadinya sepi kini mulai ramai dikunjungi beberapa pegawai kantoran yang sebelum masuk kantor membeli kopi atau sengaja untuk sarapan terlebih dahulu. Kalau ditanya apakah Ian ingin bekerja kantoran dengan penghasilan tetap tentu ia mau. Tapi mengingat dirinya kurang memiliki passion untuk sebagai pegawai kantoran yang mempunya sistem 9 to 5, belum lagi jika harus lembur atau meeting mendadak. Budak korporat katanya.
"Ian!" seru sebuah suara dari pintu masuk, Bang Mono yang baru sampai melambaikan tangannya pada Ian yang tengah termangu memandangi jalanan yang sudah ramai dengan lalu lalang kendaraan bermotor. Ian membalas lambaian tangan Bang Mono seraya berdiri dan memeluk hangat lelaki berkulit sawo matang itu.
"Sori telat, tadi anakku rewel dia gak mau aku tinggal." excuse Bang Mono sambil memasang raut penyesalan. Ian hanya tersenyum maklum, Bang Mono yang baru memiliki anak berumur dua tahun memang sering kali merengek merajuk ketika hendak ditinggal kerja oleh Mono. Bagaimana Ian bisa tahu karena sudah beberapa kali ia janjian meeting dengan Mono, lelaki itu selalu telat dengan alasan yang serupa.
"Jadi bagaimana Yan, progress yang beberapa waktu lalu aku minta sudah siap 'kan?" tanya Mono ketika ia telah memesan Caramel Macchiato dan Beef Mushroom Panini. Sejurus kemudian Ian mengeluarkan Macbooknya dan menujukkan progress pekerjaannya. Ian menerangkan beberapa kendala pada Mono dan lelaki yang lebih tua tiga tahun darinya itu manggut-manggut sambil menyimak penjelasan lugas Ian.
"Aku suka sekali dengan kinerja kamu Yan. Sempurna dan teliti, gak salah aku memperkerjakan kamu." puji Mono yang membuat Ian tersipu malu.
"Mbak Anita juga beberapa waktu lalu memberikan feedback tentang kamu dan beliau juga benar-benar puas dengan hasil kerja kamu dan rencananya ia ingin merekrut kamu untuk menjadi editor tetap di kantornya."
Mata Ian terbelalak ketika mendengar pernyataan Bang Mono barusan.
"Kalau kamu oke, lusa kamu bisa langsung ke kantornya." imbuh Bang Mono lagi.
"Kalau aku kerja di sana nanti Bang Mono gak ada yang bantuin dong?"
Bang Mono melambaikan tangannya sambil berkata, "hal seperti itu gak usah kamu pikirin, Yan. Yang terpenting sekarang karir kamu. Aku tahu sebagai freelancer begini gak menjamin apa-apa meskipun fee-nya termasuk lumayan."
Ian sedikut banyak membenarkan kata-kata Bang Mono barusan. Ia terlalu lama berlindung dari zona nyamannya, setidaknya ia harus menambah pengalamannya kalau tidak ia akan merasa hidupnya akan sia-sia jika tidak mencoba hal yang baru.
"BTW, kamu sudah punya pacar?" kini Ian dan Bang Mono sudah menyingkirkan soal pekerjaan. Semuanya telah beres lebih awal dan itu tandanya Ian bisa pulang ke rumah dan kembali leyeh-leyeh.
Ian tersedak ketika mendengar pertanyaan Bang Mono.
"Bang Mono ini lagi bercanda ya? Mana mungkin cewek kaya aku punya pacar." sungut Ian yang membuat alis Bang Mono bertaut.
"Kamu kok ngomong kaya gitu? Kamu tuh cantik tahu Yan udah gitu pinter lagi, aku jamin deh sebenernya banyak laki-laki yang suka sama kamu tapi kamu selalu tutup mata dan memberi jarak." Bang Mono membenarkan duduknya sebelum melanjutkan pembiacaraannya, "kamu ingetkan Aldi temenku waktu kuliah dulu? Dia itu naksir berat sama kamu tapi kamu selalu menghindar hingga akhirnya dia nyerah dan sekarang udah mau nikah. Jadi kamu gak usah minder, Yan. Banyak di dunia ini yang memiliki kekurangan dibandingkan kamu dan mereka baik-baik saja."
Aldi? Ah, Ian jadi ingat beberapa tahun silam ketika ia menjadi mahasiswa baru. Ada seorang kakak tingkat yang dari awal ia masuk sudah gencar mendekatinya, awalnya Ian pikir lelaki tersebut hanya main-main padanya. Karena siapa yang akan berpikir kalau Aldi suka kepada Ian? Ian kala itu hanyalah mahasiswi tak kasat mata dibandingkan para MABA lainnya yang cantik-cantik.
Mendengar ucapan Bang Mono membuat Ian tersenyum getir. Bukan sekali atau dua kali Bang Mono mengatakan kalau Ian cantik dan tidak perlu minder. Entah apa maksud lelaki tersebut tapi satu yang pasti, Ian masih belum percaya diri untuk berhadapan dengan lawan jenis yang hendak mendekatinya. Ian masih trauma akan cemoohan dan segala penghinaan yang dilontarkan terhadap dirinya.
***
Pertemuan Ian dan Bang Mono selesai ketika sehabis makan siang. Bang Mono harus buru-buru balik ke kantornya untuk liputan sedangkan Ian, ia memutuskan untuk window shopping terlebih dahulu. Ian mengarahkan kakinya menelusuri ground floor di mana banyak toko-toko baju merk ternama yang sedang mengeluarkan model terbaru yang sungguh cantik-cantik. Hal tersebut terlihat dari etalase toko yang telah diganti sesuai dengan tema dari toko tersebut, manekin yang telah dipasangi baju-baju keluaran terbaru.
Mata Ian terarah kepada suatu mini dress berwarna pastel dengan motif bunga-bunga kecil berwarna senada. Di ujung dress tersebut terdapat bordiran manis yang semakin mempercantik dress tersebut. Rasanya Ian ingin membeli dress itu dan memakainya tapi hal tersebut tidak mungkin, bukan? Dress itu akan cantik jika bukan Ian yang mengenakannya.
Tanpa sengaja Ian melihat pantulan dirinya pada sebuah cermin di salah satu pilar mall. Ia melihat dirinya yang hanya bisa menggunakan celana gombrong dan kemeja longgar dan juga sepasang sepatu vans yang sudah mulai usang. Melihat wujud membuat dirinya membuang nafas berat. Ian ingin berpenampilan menarik, ia ingin menggunakan baju cantik yang banyak di pasaran, ia ingin rupawan.
Akhirnya, Ian masuk ke toko tersebut dan berniat membeli dress tadi. Sang pramuniaga menatap Ian dengan bingung. Seolah dari ekspresinya mengatakan kalau dress tersebut bukan diperuntukkan untuk tubuh seperti Ian.
Ian tidak mau mengambil pusing, ia hanya ingin mempunyai satu pakaian bagus yang meskipun ia sendiri tidak tahu kapan ia akan bisa pakai. Tanpa ba-bi-bu lagi, Ian langsung membeli, membayar dan pergi. Ia muak dengan tatapan para pramuniaga yang sangat mengintimidasi. Ketika keluar dari toko tanpa ia sadari air matanya menetes. Apa salah jika ia gendut? Apa salah jika ia ingin membeli pakaian bagus? dan Apa salah jika ia jatuh cinta pada seorang lelaki?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Fat Love (COMPLETED)
RomansaMungkin disebagian orang mengatakan kalau kecantikkan itu dinilai tidak dari fisik melainkan dari hati yang tentu teori tersebut tidak valid bagi Ian. Hampir separuh hidupnya ia harus menelan pil pahit segala ejekkan dari teman-temannya atau bahkan...