Ian pulang ke rumah dengan perasaan kacau serta hancur. Masih terngiang di ingatannya bagaimana cara Dimas berbicara kasar terhadapnya dengan aura kebencian yang ia pancarkan. Ian tidak menyangka lelaki yang selama ini memperlakukannya dengan tulus dan lemah lembut justru yang membuat dirinya sakit hati.
Ian masuk ke dalam kamarnya dan melempar tubuhnya ke atas tempat tidur lalu sesaat kemudian tangisnya pecah. Ian menenggelamkan wajahnya ke dalam bantal guna meredam suara isak tangisnya takut-takut kedua orang tuanya akan mendengar dan membuat mereka khawatir.
Baru kali ini Ian merasa patah hati terhebat. Jika Dimas tidak suka atas tindakan Barry lebih baik katakan saja dengan baik-baik tanpa harus mengatakan hal yang membuatnya sakit.
Mengingat Barry membuat hati Ian semakin sakit. Entah apa yang akan dipikirkan lelaki itu setelah Dimas mengatakan kalau Ian adalah seperti perempuan kebanyakan yang tidak tahu diri yang seolah-olah hanya memanfaatkan keluguan dirinya demi menjerumuskan hati laki-laki.
Ian tidak seperti itu dan tidak akan pernah seperti itu.
Tangis Ian semakin menjadi dan tidak tahu kapan akan berhenti.
Tiba-tiba ponsel Ian berdering.
Incoming Call
DimasKarena Ian sudah terlalu malas untuk mengecek siapa yang menghubunginya alhasil ia membiarkan ponselnya terus berdering hingga puluhan kali.
***
Dimas melempar ponselnya sembarang ke atas jok mobilnya. Ia sudah berusaha puluhan kali untuk menghubungi Ian tapi gadis itu tidak menjawabnya juga. Di dalam mobil Dimas terdiam menimang-nimang dirinya apakah ia harus pergi ke rumah Ian? Tapi justru hal itu bisa-bisa membuat runyam masalah karena pasti orang tua Ian akan turut ikut campur dan Dimas tidak mau membuat kedua orang tua Ian menjadi terluka juga.
Akhirnya Dimas memutuskan untuk pulang ke rumah dan berharap esok Ian mau berbicara dengannya.
Keesokan paginya Dimas sengaja datang lebih awal. Ia sudah bertengger di balik mejanya menunggu-nunggu kedatangan Ian. Matanya tak lepas dari pintu masuk, setiap pintu masuk terbuka buru-buru ia menoleh berharap Ian datang tapi ia selalu mendesah kecewa ketika bukan Ian yang datang melainkan para karyawan lainnya.
Dimas kembali termangu menatap lembar kerjanya yang berisikan konsep-konsep yang masih mentah untuk resital penyanyi orkestra yang akan diselenggarakan bulan depan. Setiap ia mengerjakan proyek ini ia selalu merasa tak enak hati jika ia mengingat pernah membohongi Ian perihal ia harus lembur untuk menuntaskan proyeknya ini. Padahal ia ke apartemen Sasa untuk bertemu dengan gadis itu.
"Dim," panggil Sasa yang ternyata sudah datang dan Dimas tidak menyadarinya. Dimas menoleh ke arah Sasa dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Bisa kita bicara sebentar?" tanya Sasa yang kali ini langsung diamini oleh Dimas. Keduanya memutuskan untuk berbicara di pantry berhubung belum banyak karyawan yang datang.
Sasa menutup rapat-rapat pintu pantry. Dimas sudah menyenderkan tubuhnya ke salah satu dinding yang berada di sana sambil menyilangkan tangannya di depan dada, sesekali lelaki itu mendesah berat.
Sasa tahu apa yang sedang dipikirkan Dimas dan kalau boleh jahat sejujurnya Sasa senang atas pertikaian yang terjadi di antara Dimas dan Ian tapi tentunya gadis ini tak boleh menunjukan sikapnya yang demikian.
"Mau kopi?" Sasa menawari Dimas yang dijawab anggukan lemas dari Dimas. Sasa mulai menjerang air ke dalam teko listrik. Di ambilnya dua cangkir untuk kopinya dan Dimas. Beberapa menit kemudian air di dalam teko listrik sudah mendidih dan lampu indikator sudah mati bertanda air sudah panas dan matang. Sasa mulai menuangkan air panas tersebut ke dalam cangkir yang sudah berisikan bubuk kopi hitam dan sedikit gula setelah itu Sasa mengaduk-aduk kopinya dengan pelan sampai tercampur rata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fat Love (COMPLETED)
RomanceMungkin disebagian orang mengatakan kalau kecantikkan itu dinilai tidak dari fisik melainkan dari hati yang tentu teori tersebut tidak valid bagi Ian. Hampir separuh hidupnya ia harus menelan pil pahit segala ejekkan dari teman-temannya atau bahkan...