1. keputusan

20.6K 415 21
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم
***
"Seorang ayah akan melakukan apa saja untuk kebaikan anak-anaknya, walaupun ia merasakan kesusah payahan dalam melakukan hal tersebut"

***

Siang ini selepas Zuhur, Nafisyah disibukkan membereskan pakaian kedalam tas besarnya. Sesekali dia pun mengumpat, “Ih, ayah, jahat banget sih. Kesel jadinya!”

“Syah, udah sayang beres-beresnya?” ucap Maira, ibu Nafisyah yang baru saja masuk ke kamar.

“Bu, kenapa ayah jahat sama Aisyah, aku gak mau pergi. Ibu kenapa gak belain Aisyah waktu tadi, sih!” Gadis itu merengek, mencoba mencari pembelaan dari ibunya.

Sejam yang lalu Nafisyah dipanggil oleh adiknya untuk menemui ayahnya di ruang keluarga, dan dia mendapatkan kabar yang menurutnya tidak masuk akal, bahwa besok lusa dia akan dikirim ke pesantren.

Bujukan terus Nafisyah ucapkan kepada ayahnya, dia tidak mau di pesantrenkan apalagi pesantrennya jauh sekali dari rumah.

“Ayah bukan jahat sama kamu, Syah, Ayah justru sayang sama kamu." Jelas Sidik, ayah Nafisyah.
"Ayah sama Ibu memutuskan untuk memasukkan kamu ke pesantren bukan tanpa alasan. Itupun demi kebaikan kamu, kami nggak mau kamu salah pergaulan. Apalagi kamu wanita dan kamu suka gampang terpengaruh oleh sikap orang disekitar kamu.” Jelas Sidik dengan tegas. Sidik tidak ingin anak sulungnya itu terjerumus pada hal-hal yang negatif, apalagi pada zaman sekarang ini, di mana segala macam dihalalkan. 

“Tapi Yah, kan Aisyah mau lanjutin sekolah. Aisyah mau masuk perguruan tinggi," rengekan Nafisyah terus membujuk.
“Ayah gimana, sih. Lagian gak perlu juga masuk pesantren!” protesnya terus, tidak setuju dengan penjelasan ayahnya.
Dia malah semakin merengek menangis dan kesal dengan tingkah ayahnya yang mendadak memasukkan ke pesantren tanpa persetujuan dirinya. Sungguh keputusan yang sangat konyol.

“Sudah, Syah, jangan nangis gitu ah, ini semua sudah kesepakatan kita, dan Insyaallah, ini yang terbaik untuk kamu ya, Nak,” ucapan Maira yang lembut namun tegas.
Sejak tadi Maira hanya melihat dan mendengarkan percakapan suami dan anaknya yang saling beradu argumen.

“Ayo, sekarang kamu ke kamar masukin barang-barang sama baju kamu untuk dibawa ke pesantren.” Ungkap ibu, yang menandakan Nafisyah harus menyetujui keputusannya.

***

Rabu pagi seperti yang sudah direncanakan, Nafisyah diantar oleh kedua orang tuanya dan kedua adiknya ke pesantren.

Sepanjang di perjalanan dia tidak banyak bicara, tidak seperti biasanya yang cerewetnya Naudzubillah. Nafisyah memilih diam dan jika adik-adiknya berbicara, hanya membalasnya dengan jawaban oh, ya, gitu, iya atau hanya anggukan saja.
Benar-benar kakak yang tidak boleh ditiru. Semenjak kemarin pun, semenjak ayah Nafisyah menginginkan dia tinggal di pesantren. Nafisyah tidak bersemangat untuk melakukan hal apapun, selain berdiam diri mengurung di kamar dan menangis sejadi-jadinya.

“Kak, Kakak jangan nakal yah di sana,” ujar Rifa, adik kedua Nafisyah. Nafisyah hanya membalas ucapannya dengan anggukan sekilas.

“Kamar Kakak aku tempatin, ya, sayang kan kalau kamar itu kosong. Nanti kalau kamarnya kosong ada yang nempatin, lho.” Bujuk adik perempuan Nafisyah, Salsabila.

Sejak tadi Bila terus saja membujuk Nafisyah untuk memberikan kamar kesayangannya itu.

“Iya deh aku kasih tempat itu sementara ke kamu, Bil, dari pada nanti ada penghuninya, kan takut. Tapi awas ya! Jangan sampai ngilangin barang-barang aku, atau ngeruksaknya. Kalau sampai itu terjadi awas saja!” ancam Nafisyah seraya menyetujui permintaan adiknya itu. 

Akhirnya kamar pun dia kasih kepada Salsabila, setelah memutuskannya dengan berbagai alasan tertentu. Tentu dengan sangat berat sekali Nafisyah mengizinkan adiknya menempati kamarnya walaupun hanya sementara.
Pasalnya, kamar kesayangannya itu tempat ternyamannya, jadi tidak boleh satu pun barangnya hilang atau rusak, biasanya dia tidak mengizinkan adiknya itu untuk tidur atau sekedar berdiam diri di kamar, adiknya itu selalu saja memberantakan kamar, dan tak jarang merusak barangnya. Bagi Nafisyah haram sekali kedua adiknya masuk kamarnya itu.  

***

Butuh waktu yang lama perjalanan dari Bandung menuju Bogor. Bukan tanpa alasan ayahnya memilihkan pesantren yang sangat jauh dari rumahnya.
Ayahnya dulu pernah pesantren di tempat yang sama yang akan Nafisah tempati, di pesantren itulah ayah banyak menerima ilmu, yang ilmu itu juga sedikit demi sedikit ayahnya ajarkan kepada ketiga anaknya.

“Jangan nangis, Nak," ujar ibu yang tak tega melihat tangisan anaknya, ia merasa bersedih pula karena harus meninggalkannya.
"Ibu dan Ayah bukannya gak sayang sama kamu, justru kami sayang sekali sama kamu hingga kamu harus masuk ke pesantren ini, kamu harus menimba ilmu agama lebih banyak lagi buat bekal kamu ya, Nak, kamu harus jadi anak serta wanita yang solehah, ya.” Nasihat ibu pada Nafisyah, yang sejak tadi Nafisyah tidak mau ditinggal pulang dan terus saja menangis.

“Aisyah gak mau di sini!”

“Aisyah, dengarin Ayah!” ucap ayah tegas. Dengan sekali tarikan napas Nafisyah pun memberanikan diri melihat ayahnya.
“Kamu harus kuat, kamu harus bisa bertahan di sini, banyak berdoa, jangan sesekali tinggalkan salat, jaga juga pandanganmu. Ayah sama Ibu di rumah akan selalu mendoakan kamu.” Ayah menjabarkan penjelasannya, yang entah keseberapa kalinya itu.

Ayah juga tak tega melihat anaknya menangis ingin ikut pulang kembali, tetapi bagaimana pun ini untuk kebaikan anaknya.

Nafisyah terus merengek, menangis tanpa henti, dengan mudahnya air mata itu mengalir tanpa menghiraukan orang disekitarnya, santri-santri yang sedang berlalu-lalang.

Tak ada pembelaan dari siapapun, keputusan tetap bulat. “Ssyutt ... malu tau, jangan gitu deh udah besar. Ayo berdiri aku mau pulang, nih.” Salsabila pun menyahut, dia sangat jengah menyaksikan drama antara kakak dan kedua orang tuanya itu.

“Ayah udah nitipin kamu sama Umar, yang tadi di dalam.” Ungkap ayah sambil menunjuk satu rumah yang mereka kunjungi tadi.
“Dia itu sahabat Ayah sekaligus pemilik pesantren ini, kamu sudah tahu itu, kan. Ayah pulang sekarang, ya sudah sore takut kemacetan.”

Akhirnya dengan berat hati Nafisyah pun bersalaman, mencium tangan kedua orang tuanya dan kedua adiknya pun turut bersalaman dengan Nafisyah. Selepas itu mereka berpamitan dan pulang kembali kerumah.
Setelah mobil yang membawanya kesini sudah tak terlihat lagi, itu bertanda Nafisyah harus kembali ke kamar baru yang sekarang ditempatinya.

“Hai, ismi Maya, kamu santri baru, ya?” Pertanyaan dari salah seorang gadis yang memperkenalkan dirinya kepada Nafisyah, Nafisyah menghampirinya seraya menjabat tangan gadis itu.

“Hai, May, namaku Humaira Zahratunnafisyah, panggil saja aku Nafisyah.” Nafisyah memperkenalkan diri, gini-gini juga dia bisa ngerti sedikit bahasa Arab.

“Aku Ainun, kita sekamar,” ucap salah seorang lagi.

Awal baru dan teman yang baru, semoga ini menjadi awalan yang baik untuk Nafisyah.

“Yuk, ana yang akan mengantarkan ke asrama.” Ajak Maya. Maya sendiri ditugaskan oleh Salamah, atau yang disebut dengan Umah Salamah. Istri dari Umar pemimpin pesantren yang sering disebut Abah Umar oleh para santrinya, untuk mengantar Nafisyah ke asrama.

*****
Alhamdulillah, telah selesai. Jangan lupa tinggalkan jejak, vote, komennya.

* Amalan pada Malam dan hari Jum'at *

1. Perbanyak sholawat kepada nabi kita
2. Membaca surat Al-Kahfi
3. Membaca Yasin
4. Mandi sunah

Syukron kasiron
" 20 September 2018 "

CINTA PADA AKAD KEDUA {Terbit}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang