بسم الله الرحمن الرحيم
“Jangan Khawatir. Sesungguhnya, ketika melibatkan sesuatu hanya pada Allah, semua akan terasa mudah. Semua permasalah, sedih, bahagia kita diatur oleh-Nya.”
***
Sama halnya dengan Nafisyah, enam bulan terakhir ini dia melibatkan semua urusannya kepada Sang Pemberi Urusan.
Dia bisa melewati masa-masa di mana rasa tak nyamannya di pesantren, rasa ingin pulangnya, rasa ingin tidur pulas di kamarnya dan berbagai rasa kenyamanan hidup sebelum dia masuk ke pesantren.Setelah menyadari akan hal-hal yang terjadi, ia malah bersyukur bisa merasakan bagaimana hidup di pesantren, hidup bersama dengan orang lain.
Di mana resikonya, kita harus bersabar menghadapi berbagai macam sikap orang perorangannya. Dengan menekadkan hati, bahwa dia bisa melakukan hal itu.
Maka atas izin Allah, Nafisyah pun bisa melakukan hal-hal yang menurutnya tidak mungkin menjadi mungkin.Bersahabat dengan Maya dan Ainun. Nafisyah sudah lebih dari cukup, dia tak pandai dalam berteman. Dulu sering kali Nafisyah tanpa sadar membuat sahabatnya itu menangis atau kesal akan sikapnya, yang kadang egois, menyebalkan dan sikap buruk lainnya.
Sekarang ia mulai berubah, memperbaiki diri, membenahi hati dan memfokuskan diri untuk selalu beribadah kepada Allah. Menghindari hal-hal buruk, di mana itu sangat sulit untuk dilaluinya. Tapi anehnya, ketika ia mencoba untuk memperbaki semuanya, ada satu hal yang sulit ia perbaiki. Rasa yang ada pada hatinya, rasa yang seharusnya hilang, yang seharusnya tidak bersemayang dalam hati dan jiwanya begitu lama.
***
"Yah, Aisyah mau jalan-jalan dong!" bujuk Nafisyah pada ayah.
Nafisyah sedang masa liburan pesantren selama sepuluh hari dan untuk memanfaatkan waktu berliburnya dia ingin jalan-jalan bareng bersama keluarga.
"Syah, Syah. Baru juga kemarin dijemput Ayah, udah minta diajak jalan-jalan aja nih." Ibu hanya menggelengkan kepala seraya menyuapkan makanan pada mulutnya.
"Ih Ibu, kan Aisyah udah lama gak jalan-jalan bareng lagi. Sekarang, yuk!" rengek manja Nafisyah pada kedua orang tuanya.
"Iya, ayo. Mau kemana, hem?" kini ayahnya yang berucap sambil menawarkan.
"Terserah Ayah aja, deh. Nafisyah mah ikut aja."
"Lho, kok aneh sih, Nak. Kamu yang mau jalannya." Timbal ibunya.
"Hehehe, ya kemana gitu." Nafisyah hanya senyum cengengesan, dia pun tak tahu akan pergi kemana, bingung memang.
"Ya sudah, sekarang siap-siap dulu gih, jangan lama-lama. Nanti gak jadi nih." Sahut Ayah.
"Oke, Pak bos," jawab Nafisyah sambil menirukan gaya hormat.
Sebelum masuk kamarnya, dia berteriak. "Dek, dedek gemes nyebelin Bila, Rifa. Cepetan siap-siap, mau ikut gak?!"Di ruang keluarga, Ayah dan Ibu saling tatap, tersenyum dan menggelengkan kepala. "Ternyata masih belum berubah juga itu, Yah, sikap nya.”
“Biarinlah, Bu. Ayah tuh, kangen sama anak kita satu ini. Gak kerasa udah 6 bulan aja, semoga ada perubahan sedikit-sedikit ya, Bu.”
“Iya, Yah. Semoga saja, aamiin.”
***
Setelah asik jalan-jalan keliling Bandung, kini gilirannya untuk mengisi perut yang sejak tadi sudah keroncongan. Cacing dalam perut Nafisyah sudah mulai demo.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA PADA AKAD KEDUA {Terbit}
Spiritual{BISA DIPESAN KE PENULIS/PENERBIT} #🥇keikhlasan (Senin,04 November 2019) #🥇 spritual (Jum'at, 20 Desember 2019) 'Cinta itu butuh kesabaran.' Itulah yang selalu dipegang teguh oleh Nafisyah dan Rahman. Mengawali pernikahan dengan niat saling melupa...