30. Next

4.3K 182 14
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم
***

Setelah menguatkan hatinya, Nafisyah segera pulang ke rumah untuk menemui Rahman.
Senggukannya sudah hilang, ia sudah sedikit tenang untuk menghadapi Rahman.

"Alhamdulillah, bi makasih udah nemenin aku jalan-jalan ya" ucap Nafisyah sambil tersenyum.

"Sip neng, bibi ke belakang dulu ya" pamit bi Atun. Nafisyah menjawabnya dengan anggukan dan senyuman.

Setelah itu Nafisyah pun pergi untuk ke kamarnya. Nafisyah merasa salah atas kejadian tadi, seharusnya ia tak egois dengan hanya mementingkan perasaanya saja tanpa mau mendengarkan dulu penjelasan Rahman.

"Apapun penjelasan nya, bismillah lah. Aku akan terima apa pun itu, lagian sudah resiko aku" ucapan Nafisyah dalam hatinya sebelum memasuki kamar.

"Assalamualaikum" salam Nafisyah saat masuk kamar, ia sedikit ragu saat masuk.

"Waalaikum salam" jawab Rahman, Rahman pun segera menghampiri Nafisyah.
"Nafisyah?" Panggil Rahman

"Ya a?" Jawab Nafisyah dengan lebih santai.

"Kamu sudah membaik?" Tanya Rahman yang sedikit aneh dengan Nafisyah.
Beberapa menit lalu Nafisyah sangat marah padanya, bahkan jejak tangis pada matanya saja belum hilang. Tapi sekarang seakan tak ada permasalah saja. Bahkan Nafisyah menampilkan senyumnya saat masuk kamar tadi. Sungguh perasaanya tak dapat ditebak saat ini.

"Seperti yang aa lihat" ucap Nafisyah, dan kembali menampilkan senyumnya.
Memang benar ia sudah sedikit membaik, hatinya tak dipenuhi amarah lagi. Kini Nafisyah sedikit lebih tenang dari sebelumnya.

"Izinkan aku menjelaskan Naf, biar tak ada lagi permasalahan seperti ini lagi," izin Rahman sambil lebih mendekat pada Nafisyah.

"Ya silahkan" ucap Nafisyah mengizinkan.

"Sini!" Perintah Rahman sambil merangkul Nafisyah untuk dipeluknya. Tetapi Nafisyah menolak rangkulan Rahman.

"Kenapa?" Tanya Rahman.

"Tidak, hanya kurang nyaman saja a. Jelasin aja, gak usah sambil gini. Takutnya bisa membuat aku terluka lagi" penolakan lembut Nafisyah.

Jujur saja, pelukan Rahman belum bisa mengobati lukanya, bahkan hanya bisa menambah luka saja. Dari pada luka itu menambah, lebih baik Nafisyah tolak. Toh ia akan lebih kuat tanpa ada pelukan Rahman saat menjelaskannya.

"Hasna.." Rahman memulainya, "Hasna sahabat kecil ku dulu. Keluarga ku dan keluarga nya bersahabat baik. Kami selalu bersama-sama walau terpaut umur dua tahun lebih muda dari aku, awalnya aku hanya memiliki rasa sayang sebagai sahabat saja tak lebih. Tapi seketika beranjak dewasa, aku baru menyadari bahwa rasa itu lebih dari rasa sayang pada sahabat. Awalnya ketika kami masih kecil, Kami selalu bersama kemana pun. Semenjak beranjak dewasa Abi dan ayah Hasna melarang kami untuk lebih dekat, karena kami sudah memiliki batasan." Penuturan Rahman.

"Jujur saat itu aku kecewa, dengan aturan itu. Hingga suatu ketika aku sudah lulus SMA dan aku melanjutkan kuliah di Kairo. Disana kami masih berhubungan lewat telepon, Hasna sendiri ia tak kuliah. Karena keluarganya tak bisa membiayai, padahal ia sangat pintar. Hasna membantu ibunya berjualan di rumah makan milik keluarga nya. Ia sendiri hanya anak tunggal." ucap Rahman, sambil terus menatap bola mata Nafisyah.
Rahman sedikit takut saat menjelaskannya. Takut Nafisyah terluka lagi, dan menangis karenanya lagi.

"Hingga aku lulus kuliah, Hasna masih menatap di tempat yang sama. Selama ini aku sangat menderita dengan perpisahan kami. Hingga akhirnya aku berniat melamar Hasna, Hasna sendiripun memiliki perasaan yang sama terhadapku. Ia menerima lamaran ku. Hingga saat seminggu sebelum pernikahan, ia menghilang. Rumahnya seketika kosong. Ayah, ibu dan Hasna tak tahu kemana. Aku mencarinya kemana-mana, mancari info kepada kerabat nya, sayangnya mereka pun tak tahu dimana keluarga Hasna pergi. Tiga bulan aku terus mencari sampai akhirnya, ummi sudah melarang ku mencari," ucap Rahman dengan sedikit serak, terbukti bahwa Rahman sedang menahan tangisnya kala menuturkan segala tentang Hasna.

CINTA PADA AKAD KEDUA {Terbit}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang