7. Harapan Semu

4.3K 186 0
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم

Ketika harapan diletakkan pada bukan tempatnya, lalu tidak sesuai dengan kenyataan. Maka sudah jadi barang pasti, Karena hanya kepada Allah-lah segala pengharapan.
***

Seminggu setelah kejadian di mobil itu, Nafisyah terus berpikir. Bagaimana jika memang benar ayahnya menyatakan niat tersebut, bukankah Nafisyah seperti mengharap lebih darinya.
Memang benar adanya jika Nafisyah ingin bersatu dengan Khalif. Tapi apakah dia pantas atas dirinya.

Melamun memikirkan semua yang akan terjadi, Nafisyah sampai-sampai mengabaikan pembelajarannya hari ini.
Dia tidak bisa konsentrasi saat ini bahkan hari-hari sebelumnya pun.

"Afwan, Ustazah ana boleh tanya?" Nafisyah tiba-tiba bertanya ketika melihat Ustazah yang mengajarnya itu akan pergi meninggalkan kelas.

"Ya, silahkan," ujar Ustazah itu sambil kembali duduk.

"Apa boleh kita mengharapkan seseorang untuk menjadi pendamping kita dan bolehkah seorang wanita mengutarakan niatnya untuk melamar seseorang itu?" lanjut ucap Nafisyah dengan penuh keyakinan.

Selang beberapa detik Ustazah itu menarik napas dan menjawab. "Boleh-boleh saja, asalkan kita tidak terlalu berharap lebih pada orang itu, sahabat sekaligus menantu Rosulullah pernah berkata,”Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup dan yang paling pahit ialah berharap kepada manusia (Ali bin Abi Thalib). Meletakkan harapkan itu hanya kepada Allah, maka kamu berharaplah untuk menjadi pendampingnya dengan bergaris bawah berharap kepada Allah bukan pada seseorang itu." Jawab ustazah dengan tenang. Lalu, sedikit diam untuk mengambil kesempatan menarik napas sebelum melanjutkan jawaban dari pertanyaan yang Nafisyah ajukan.

"Dan pertanyaan yang kedua, ketika seorang wanita ingin mengutarakan perasaannya bisa saja. Khadijah seorang perempuan, istri Nabi Muhammad SAW saja mengutarakan niatnya untuk menikahi Nabi Muhammad. Tapi, sebaiknya kamu sebagai wanita menurut saya lebih baik memendam saja perasaan itu. Menunggu waktu yang pas untuk diutarakan. Seperti hal nya putri Baginda Rosul, Fatimah Az-Zahra memendam perasaan kepada Syaidina Ali dan tanpa sepengetahuan setan pun." Jelas Ustazah.

"Itu pilihan yang sama-sama baik dan bernilai positif. Terserah kamu saja, yang ingin memilihnya," ucapnya kembali.

"Oh begitu, syukron Ustazah." Nafisyah pun mangut-mangut saat sudah mendengar jawaban dari Ustazah. Dan setelah itu, berakhir lah pembelajaran hari ini.

Apakah kini Nafisyah seperti Bunda Khadijah yang mengutarakan cintanya melalui sang pelantara? Dan tak seperti Syaidatina Fatimah yang memendam cintanya dalam diam?

***

"Hallo, Waalaikum salam. Ada apa, Bu?" salam Nafisyah pada iIbunya di telepon.

"Kamu udah siap?" tanya ibu.

"Siap apa, Bu? gak ngerti ah. Bukannya nanyain kabar, malah bikin pertanyaan yang gak jelas. Inti nya ya, Aisyah gak suka basa-basi." Ucap Nafisyah buru-buru, pasalnya dia penasaran dengan laju pembicaraannya. Tebakannya pasti akan mengarah pada Khalif.

"Iih, kamu gak sopan ya sama orang tua, nih Ayah kamu mau bicara." Ibu pun diseberang sana memberikan telepon genggam itu pada suaminya.

Dengan bodohnya Nafisyah menganggukkan kepala, yang tentu tidak akan terlihat oleh ibunya.

"Hallo, Assalamualaikum, Syah?" suara khas ayah pun terdengar jelas oleh Nafisyah.

"Iya, Yah. Waalaikum salam, ada apa?"

CINTA PADA AKAD KEDUA {Terbit}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang