6. Pengampunan

4.4K 174 2
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم
***

Setelah seminggu lamanya berada di rumah, besok saatnya Nafisyah untuk kembali lagi ke pesantren.
Terasa berat sekali memang untuk meninggalkan rumah, masih merasa nyaman dan tak ingin dulu pergi ke pesantren.

"Jika kamu terus-menerus ada di rumah, nanti kamu gak akan betah lagi di pesantren, Nafisyah! Nantinya sulit kamu untuk pergi lagi," protes Ayah ketika Nafisyah meminta waktu sehari lagi di rumah.

Padahal waktu libur masih ada tiga hari lagi, tapi tetap saja Ayah menyuruhnya untuk pergi ke pesantren hari esok juga.
Mau tidak mau, Nafisyah harus menuruti apa kata ayahnya. Lagi pula pesantren mengizinkan waktu libur hanya seminggu. Dan sepuluh hari hanya untuk santri yang bersekolah saja. Jadi, ya terimalah.

Tok… tok… tok... usai makan malam selesai, Nafisyah dan keluarga berkumpul menonton TV bersama, dan tak lama dari itu ada suara seseorang mengetuk pintu disertai salam.

"Waalaikum salam. Eh, masuk-masuk, Kak!" suara Rifa begitu terdengar mempersilahkan seseorang masuk.

Ayah menghampiri orang tersebut dan diikuti oleh Nafisyah juga, ia sudah mengetahui suara seseorang itu.

"Syah, ambil minum buat Khalif gih," suruh Ibu yang baru saja datang mendekat dan dengan anggukan Nafisyah menyetujuinya.

Setelah memberikan minum kepada Khalif, Nafisyah berniat akan meninggalkan ruang tamu. Tetapi, saat Nafisyah akan pergi, ayahnya meminta Nafisyah untuk duduk bersama mereka. “Syah, Khalif mau bicara sama kamu.”

"Bicara apa, Yah?"

"Ya, gak tahu lah, orang yang mau bicara Khalif bukan Ayah, kamu gimana sih." jawab Ayahnya.

"Iih, Ayah!" rengek Nafisyah. "Kak, mau bicara apa?" Nafisyah pun memberanikan diri untuk berbicara walaupun sedikit gugup.
Tak ada jawaban, hanya ada suara tawa dari Khalif. Nafisyah mengerutkan dahinya, ada yang lucu, kah?

Khalif  menggelengkan kepalanya. “Om, Tante. Sudah berubah ya sekarang Zahranya, beda sama Zahra dulu yang masya allah banget deh," ledek Khalif dan masih menampilkan tawanya.

Khalif tak merasa canggung atau malu terhadap kedua orang tua Nafisyah, ia sudah menganggapnya sebagai orang tuanya sendiri dan begitupun sebaliknya.
"Sekarang jadi banyak diam, nunduk terus, lucu jadinya. Hehe," sambung Khalif, ayah dan ibu pun ikut tertawa.


“Tapi manja nya masih ada, Lif,” timbal ibu disertai dengan tawanya.

Bluss... Pipi Nafisyah seketika merona, dia malah semakin menundukkan kepalanya kentara sekali dia sedang dibuat malu oleh mereka. Nafisyah tak ingin terlihat pipinya kemerah-merahan.

Entah kenapa, beda sekali rasanya setelah masuk pesantren. Hati Nafisyah malah sulit diatur, ia kini malah semakin perasa.

"Iya Lif, Alhamdulillah sedikit demi sedikit, gak sia-sia Om pesantrenin." Ujar Ayah Nafisyah.

"Iya, Om. Kan itu juga demi kebaikan Zahranya juga," jawab Khalif.

"Ih, kalian ngomongin apa sih. Kak Khalif mau ngomong apaan?!" tanya Nafisyah sewot, pasal nya ia malah jadi pendengar setia antara kedua orang tua nya dengan khalif.

"Tuh, tuh, Om kumat lagi, baru juga dipuji, udah berubah aja. Eh ternyata masih kaya dulu ini sikapnya, marah-marah mulu." Ledek Khalif sambil tertawa beserta Ayah dan Ibunya.

"Iih, Kak Alif, mau ngomong apa sih? Kalau gak jadi Zahra pergi ya."
Nafisyah sedikit kesal dan akan melangkah pergi.

"Iya, iya, ini mau!" Khalif pun mengambil sebuah benda terbungkus kertas kado yang ada di dekatnya, Nafisyah kembali membalikan badannya.

CINTA PADA AKAD KEDUA {Terbit}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang