Al menyandarkan punggungnya di kursi sembari menyeruput Americano dinginnya, berusaha menjaga matanya agar tetap terbuka.
Kalau saja teman-temannya tidak datang ke apartemennya dan menculiknya secara paksa pasti sekarang dia masih bergelut di kasur---bukannya malah mendengar ocehan tidak penting dari teman-temannya.
Seperti misalnya sekarang, mereka tengah berdebat tentang dibarisan manakah Lucinta Luna seharusnya ikut salat.
Al lagi-lagi memutar bola matanya malas saat salah satu temannya berteriak heboh, masih dengan topik Lucinta Luna.
Al mengerutkan dahinya tidak suka, entah kenapa di setiap pertemuan mereka nama Lucinta Luna selalu muncul ke permukaan. 'Padahal doi bukan jamban, kenapa muncul mulu ke permukaan?.' batinnya bingung.
Dan juga, kenapa temannya selalu seantusias itu tiap kali membahas Lucinta Luna?
Dia mengernyitkan dahinya semakin dalam, namun pada akhirnya dia menghela nafas panjang, sadar kalau dia sudah membuang waktunya untuk memikirkan hal yang amat tidak penting.
Melirik ke arah Bimo---salah satu temannya yang cukup kalem, yang juga tidak ikut ke dalam pembicaraan, cowok itu hanya sibuk memainkan hpnya. Mungkin sebaiknya dia bermain game saja. Sama seperti Bimo.
Pemikiran itu membuatnya berniat mengembalikan posisi paper cup ke arah semula---di atas meja. Namun, baru saja alas paper cup menyentuh meja, entah sengaja atau tidak sengaja mejanya digebrak secara tiba-tiba yang membuatnya tersentak kaget dan tanpa sengaja membuat kopinya tumpah berserakan di atas meja.
Teman-temannya yang tadi sibuk mengoceh pun kini terdiam dan berbalik kearahnya. Al menggeram rendah, sudah siap berbalik untuk mengeluarkan sumpah serapahnya kepada orang yang telah berhasil merusak moodnya hari ini.
Namun dia mengurungkan niatnya saat mendapati bahwa sang pelaku adalah seorang gadis mungil dengan tinggi badan yang Al perkirakan hanya mencapai dadanya.
Al melengkungkan satu alisnya naik, dia tidak mengenal cewek ini, tapi mungkin saja dia kenalan salah satu temannya. Jadi dia melirik ke arah teman-temannya dan tersadar kalau tatapan mereka semua mengarah ke dirinya.
Lalu Al memutar matanya kembali ke gadis itu yang juga tengah menatapnya sembari berkacak pinggang. Entah kenapa firasatnya tidak enak.
Dia baru saja akan membuka mulutnya saat gadis itu berbicara.
"Udah puas kamu?!"
Al mengerjap bingung lalu menunjuk dirinya sendiri, memastikan bahwa dia adalah objek pembicaraan cewek di hadapannya saat ini.
"Selama ini kamu anggap pertunangan kita apasih?" Cewek itu kembali berujar.
Tunangan? Al mengerutkan dahinya bingung. Seingatnya dia tidak punya pacar, apalagi tunangan. Apa cewek ini salah orang?
Jadi Al bertanya baik-baik, mencoba untuk tidak menyinggung perasaan cewek asing di depannya.
"Maaf mbak, kayaknya mbak salah orang deh." Ujar Al dengan selembut mungkin.
"Sekarang kamu ga mau akuin aku? Jadi 5 tahun ini ga berarti buat kamu?"
Al memutar otaknya untuk mengingat memorinya selama 5 tahun terakhir ini, tapi tidak ada yang spesial. Atau dia yang sudah mulai pikun?
"Aku tahu kok kalau aku emang ga ada apa-apanya dibanding selingkuhan kamu." Cewek itu menambahkan.
Selingkuhan? Boro boro selingkuhan, pacar aja gapunya.
Cewek itu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya dan bertingkah layaknya orang yang menangis.
Al seketika megap-megap panik, teman-temannya bahkan sudah menatapnya dengan pandangan menuntut. Kalau begini bisa-bisa dia dikira tersangka pemerkosaan anak di bawah umur.
"TAPI KENAPA KAMU TEGA HAMILIN CEWEK LAIN?!" Pekik cewek itu setelah menyingkirkan kedua telapak tangan dari wajahnya.
Hening. Tiba-tiba saja seisi cafe menjadi sunyi, semua tatapan pun sudah beralih ke arahnya. Dia melirik temannya yang balik menatapnya dengan tatapan horror, antara kaget dan takjub.
Hamil dia bilang?
Hamil?
H a m i l?
Al masih mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi saat cewek itu kembali berucap.
"Kita putus!" Lalu dia melengos pergi, meninggalkan Al yang masih termangu heran.
"Al... lo?" Rendo menatap Al dengan tatapan melongo dan mulut yang terbuka lebar.
"Tadi itu... apa?" Al bertanya dengan begonya.
Nias membalik badannya dan menepuk-nepuk bahunya. "Salut gue sama lo bro! Sekali nancap langsung topcer." Ujarnya terharu.
"Sensei..." Alan memposisikan tangan kirinya di depan dadanya, berbinar-binar memandang Al takjub.
Al tersentak kaget, rupanya cowok itu sudah kembali dari alam bawah sadarnya. "Gue hamilin anak orang?!" Tanyanya frustasi.
Nias mengerjap bingung, "kok nanya gue?"
Lalu tepukan lain dibahunya membuatnya menoleh. "Gapapa bro! Kita bisa besarin dia bareng-bareng." Ujar Gio tersenyum sedih.
Al meringis geli, ingatkan dia untuk menonjok mereka satu-satu.
Dont forget to vomment babes :*
Sensei adalah sufiks yang digunakan oleh orang-orang Jepang sebagai panggilan untuk orang yang dihormati karena posisinya. Biasanya yang mendapatkan gelar ini adalah seorang guru. (Cr.google)
KAMU SEDANG MEMBACA
Starlight
Teen FictionDalam rangka merayakan kelulusannya, Bintang diberi dare yaitu dengan mengaku sebagai tunangan dari cowok acak berbaju pink. Namun yang tidak dia sadari, kesediannya untuk melakukan dare ternyata membawa malapetaka untuknya. Siapa sangka kalau cowok...