17

1K 60 0
                                    

Suasana malam hari di Bandung tak jauh berbeda dengan Jakarta, ramai. Tetapi ada perbedaan, udara di Bandung itu dingin, apalagi sekarang malam hari. Udaranya tidak kotor seperti di Jakarta. Cukup untuk merefleksikan pikiran.

Kalica duduk di bawah langit beralaskan lantai sambil menatap ke arah rembulan. Kebetulan sekali bulannya berbentuk sabit membuat bibirnya juga tertarik keatas seperti bulan. Ia duduk sendiri di teras villa kecil yang disewa Iqbaal. Iqbaal dan Bang Omen sedang berbincang di dalam masalah pekerjaan, Kalica tidak mau mengganggu apalagi ikut campur. Lebih baik ia menikmati malam tenangnya ini.

Ingatannya kembali pada kejadian sore tadi di kafe Ayah Pidi. Kalica asyik menikmati makan gratis dari Ayah khusus untuknya. Itu adalah surga yang indah sekali untuk Kalica. Kalica memakan makanannya sambil bergurau dengan mas-mas kasir. Kalica suka bergaul, maka dari itu ia mudah untuk berteman. Sampai pada akhirnya Ayah Pidi berbicara padanya dengan suara yang lumayan keras.

"Kalica. Jangan dekat-dekat sama mas-mas itu. Nanti Ibaymu ini cemburu. Lihat, matanya tidak lepas darimu"

Spontan saja pipi Kalica memerah karena malu. Tentu karena senang juga. Sedangkan Iqbaal ekspresinya sudah tidak bisa dikontrol karena ketahuan memperhatikan Kalica.

"Ah engga yah, heran aja sama Ica, makannya banyak banget. Lagian kita kan sahabat, itu hak Ica mau deket sama siapa, Yah. Yang penting Ibay jagain Ica" ucapan Iqbaal ini membuat perasaan senang Kalica berangsur-angsur hilang. Kalica yang tadinya terbang tinggi ke awan, kini mulai turun. Ya untung saja tidak langsung jatuh.

Lagi-lagi Kalica merasa bodoh telah menaruh hati pada sahabatnya itu. Seharusnya ia tidak merasa lebih dan bahkan seharusnya ia tidak menaruh hati. Toh cinta ini bertepuk sebelah tangan. Mencintainya dalam diam, demi persahabatan.

"Ca" panggil Iqbaal yang tiba-tiba datang dan menepuk pundak kanannya.

"Eh bay, ngagetin aja" jawab Kalica. Iqbaal tersenyum dan ikut ambil posisi duduk di sebelah Kalica. Ia memandang wajah Kalica lalu berpindah ke arah bulan yang sedang di tatapnya.

"Bulannya cantik ya, Ca?" Ucap Iqbaal memulai percakapan mereka.

"Iya, bay. Kayak siapa coba?" Jawab Kalica dengan pertanyaan lagi.

"Yang jelas bukan kayak Ica"

"Ihhh kok Ibay jahat sih" Kalica memanyunkan bibirnya serta menggembungkan pipinya itu. Ah itu membuat Iqbaal gemas dan mencubitnya.

"Aduh pipinya, kurus aja, jangan digembung-gembungin"

"Aduh aduh, sakit tauuu, lepas ihhh" jerit Kalica yang berusaha melepaskan cubitan Iqbaal. Karena kesal akhirnya Kalica mencubit balik tangan Iqbaal yang sedang mencubit pipinya.

"Aduh" protes Iqbaal spontan dan melepaskan cubitannya pada pipi Kalica.

"Sukurin wek" ledek Kalica sambil memeletkan lidahnya sedangkan Iqbaal sibuk mengusap-usap tangannya yang panas akibat cubitan Kalica. Kecil-kecil begitu juga cubitan Kalica mantep.

"Bang Omen mana, bay?" Tanya Kalica.

"Mandi. Terus mau tidur katanya"

"Oh. Ibay abis dari Bandung langsung reading ya?"

"Iya, Ca. Tiga hari lagi balik ke sini, prescon. Lanjut reading disini beberapa hari terus syuting deh"

Mendengar jawaban Iqbaal, kepala Kalica menunduk. Tangannya sibuk memainkan kuku.

"Pulangnya Ibay, bukan buat Ica ya" ucap Kalica begitu pelan, tetapi tentu masih bisa di dengar oleh Iqbaal.

Iqbaal menghela nafasnya pelan. Lalu merangkul Kalica.

IbayicaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang