"Ingin sedih tapi tak pantas. Apalagi marah, aku tak punya kendali atas itu."
Vote duluu. Itu tanda bintangnya belum dipencettt
***
Sandra masih bergeming di tempatnya. Masa bodo dengan guru yang sedang menjelaskan di papan tulis. Fokusnya masih pada benda pipih di genggamannya. Cowok itu belum juga membalas pesannya. Sandra benar-benar takut. Takut jika dia hanya dipermainkan. Tapi, dia akan membuktikan pada Venus, bahwa dia bukan hanya dijadikan pelarian. Karena kedudukan seorang Sandra Alindira Panjaitan bukan hanya di kalangan pelarian.
Sandra menghela napasnya berat, ketika menyadari konflik dalam persahabatannya. Apakah ia egois? Tapi, memangnya salah jika kita marah karena merasa tidak dianggap sahabat? Benarkah selama ini hanya Sandra yang terbuka? Benarkah dalam persahabatannya itu hanya Sandra yang menganggap mereka bersahabat?
Lagi. Helaan napas berat lolos dari bibir mungil Sandra. Matanya melirik sendu ke tempat duduk lamanya, dimana Venus sedang duduk memerhatikan papan tulis. Bibirnya bergerak naik, menunjukkan senyuman mirisnya. Ia menyadari satu hal, dia merasa kehilangan.
***
"Jadi, menurut lo gue tembak aja atau gak?"
Zera masih menatap lamat-lamat cowok yang barusan mengajukan pertanyaan itu. Kepalanya masih berputar mencari jawaban. Zera menggeleng pelan.
Tadi, selepas bel istirahat berkumandang, Bara langsung menghubungi Zera dan memintanya untuk datang ke rooftop. Zera segera memenuhi permintaan Bara. Toh dia juga tidak ada kerjaan di kelas. Mau ke kantin juga perutnya belum lapar. Dan di sinilah ia berakhir, duduk bersampingan dengan cowok yang sudah lebih dulu berada di sini, Bara.
"Maksud lo? Gue gak perlu nembak dia?"
Zera mengangguk. "Iya. Kakak harus ingat, risiko itu masih ada. Bukannya dulu kakak nyakitin dia saat risiko itu datang? Apa di saat risiko itu datang lagi, kakak mau nyakitin dia lagi?"
Bara melengos. Ia menundukkan kepalanya, berusaha memikirkan semuanya. "Tapi gue takut kehilangan dia," lirihnya yang masih dapat didengar Zera.
"Kehilangan kenapa?"
"Lo tau Faris kan? Salah satu orang yang berpotensi besar untuk mengambil hati Sandra dengan mudah. Catatan, dia hanya salah satu! Bayangkan aja ada berapa banyak cowok yang bisa rebut dia selain Faris!"
"Kakak ingin memiliki dia?"
"Iya. Karena gue gak mau dan gak akan pernah mau dia direbut orang lain."
Seperti ada sebuah petir yang baru saja menghantam hatinya. Zera tidak mengerti kenapa. Tapi, dia merasa sedih mendengar Bara yang sangat mencintai Sandra. Bibirnya tertarik menampilkan sebuah senyuman. Yang sayangnya Bara tidak mengerti senyuman apa itu. Senyuman miris yang tidak tertangkap lensa mata Bara. "Kakak begitu mencintai dia, ya?"
"Lo tau jawabannya. Ya." Zera tidak melihat ekspresi Bara sekarang. Ia sibuk melihat ke bawah untuk mengontrol sesuatu yang telah menggenang di pelupuk matanya.
Zera menggigit bibir bawahnya untuk meminimalisir peluang keluarnya bulir-bulir air mata. Tenggorokannya terasa serak, matanya memanas. Ntah kenapa, dia selalu merasa sedih setiap mendengar curhatan Bara mengenai Sandra. Apakah ia cemburu? Ah, yang benar saja. Dia bahkan hanya menganggap Bara sebagai kakaknya, mungkin. Lalu, kesedihannya ini merupakan dorongan darimana?
"Kak." Zera mengangkat wajahnya setelah mengontrol air matanya agar tidak jadi turun. Saat itu juga, Bara menatap Zera, membiarkan cewek itu larut ke dalam manik matanya yang jernih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelarian (COMPLETE)
Teen Fiction"Maaf, ini hati. Bukan running track yang bisa kamu jadikan sebagai ajang berlari, apalagi pelarian!" ::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::: Terkadang, takdir itu memang lucu. Saat Sandra mulai berhenti, Ba...