"Sayang? Bangun, udah siang ..." wanita paruh baya itu masih setia duduk di pinggir ranjang seraya menggoyangkan tubuh putrinya. Zera hanya bergumam, ia masih enggan untuk bangun. Matanya masih melekat sempurna.
Sayup-sayup, Zera dapat mendengar suara klakson mobil yang diikuti dengan langkah Meisa -ibu Zera- ke arah jendela. Cahaya matahari yang masuk membuat Zera mau tidak mau terbangun. Lalu, Zera dapat mendengar langkah Meisa keluar kamarnya.
Sedikit demi sedikit cahaya masuk ke dalam matanya. Zera melirik jam yang menempel di dinding kamarnya. Sudah pukul tujuh pagi. Dia memang tidak shalat subuh, karena memang sedang uzur.
Zera merasa penasaran dengan suara mobil tadi. Kakinya melangkah turun dari ranjang dan menapaki lantai yang dinginnya langsung menyapa kulit. Sesampainya di jendela, ia melihat ke bawah dan mendapati mobil milik Bara sudah terparkir manis di sana.
Ada perasaan bahagia yang diikuti perasaan kecewa saat ia melihat mobil itu.
Zera langsung mencuci mukanya di kamar mandi dan segera beranjak keluar dari kamarnya. Ia menuruni anak tangga demi anak tangga dengan cepat. Bahkan ia melewati dua anak tangga sekaligus.
Saat hendak memasuki ruang tamu, Zera bersembunyi di balik pilar yang tidak bisa dibilang besar. Pasalnya, Bara dan Meisa baru saja keluar dari ruangan khusus untuk konsultasi pasien milik Meisa. Meisa adalah dokter psikolog yang menangani Bara selama ini. Bara memang rutin datang ke sini, dan biasanya, cowok itu menyempatkan untuk bertemu dengan Zera. Tapi tidak untuk hari ini.
"Kamu gak mau ketemu Zera dulu?" tanya Meisa saat mereka sudah berada di ruang tamu.
"Enggaklah tante. Kata tante kan dia lagi tidur, Bara gak mau ganggu."
Zera memberanikan dirinya untuk keluar dari balik pilar itu. Ia berusaha untuk memasang wajah cerianya dibalik kesedihan yang merundung dirinya tiba-tiba. "Hai kak. Mau cek sama mama?" sapa Zera seolah ia memang benar-benar baru datang.
"Iya. Lo udah bangun?"
"Hehe. Baru aja bangun. Kak Bara udah mau pulang?" Bara mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaan yang baru saja diajukan Zera.
"Gak mau ngobrol-ngobrol dulu? Biasanya juga lama." Bertepuk tanganlah kalian untuk Zera. Dia sangat hebat menyembunyikan kesedihannya.
"Gue mau ketemu Sandra. Sorry ya Zer?"
Zera tersenyum lembut, meski dalam hatinya ia sangat rapuh. Hatinya hancur. Mungkin dia baru menyadari kalau ia mencintai Bara. Tapi, apalah daya. Dia terlambat menyadari, dia baru menyadari saat Bara sudah bersama dengan yang lain.
"Tante, Bara duluan ya! Zer, iler lo hapus, untung gue yang liat!" ujar Bara sebelum sosoknya benar-benar menghilang dari pandangan Zera. Menyedihkan. Betapa malangnya Zera.
Zera menjatuhkan tubuhnya ke atas sofa yang tidak jauh dari posisi semulanya. Sedangkan Meisa mengantar Bara keluar.
"Kenapa?" tanya Meisa tiba-tiba. Bahkan mamanya itu sudah duduk di sampingnya, tepat sebelum Zera membuka matanya yang sejak tadi terpejam.
"Gak papa," jawab Zera berbohong. Dan kebohongannya ini, pasti akan berakhir sia-sia. Dia lupa kalau mamanya adalah dokter psikolog.
"Jangan bohong sama mama, kamu lupa sama profesi mama?"
Sandra menghela napasnya pelan. Ia memeluk sang mama dengan erat. "Ma, kayaknya Zera telat menyadari perasaan Zera. Sakit, ma ..." lirihnya masih terus memeluk Meisa.
Wanita paruh baya itu balas memeluk putrinya. "Anak mama udah besar ... Mungkin memang belum jodoh. Saran mama, jangan jadi pelakor ya nak! Buka hati buat yang baru, mungkin ke orang yang sering video call malem-malem sama kamu itu."
Sandra menegakkan tubuhnya, lantas melepas pelukan dari sang mama. Ia mengernyit bingung. Siapa yang dimaksud Meisa?
Sandra masih terus memikirkan satu nama, hingga Meisa yang memberitahunya lebih dulu.
"Yang namanya Faris kalau gak salah."
Hah? Faris?
Yang benar saja. Zera memang sering video call dengan Faris. Dan mereka paling hanya membahas tentang Sandra dan Bara. Nasib mereka sama. Jika kalian mau tahu, sebenarnya Faris sudah lebih dulu mencintai Sandra sebelum ia menghilang. Dan sampai sekarang, ternyata nasibnya masih sama. Cinta sendiri.
Pun begitu dengan Zera. Dia mencintai Bara, tapi tidak bisa memaksa. Karena ternyata hati Bara memilih Sandra. Zera tidak boleh egois.
Zera dan Faris saling menguatkan. Dengan penderitaan yang sama, mereka menghadapi cobaan.
Tapi ... Mengalihkan hati ke Faris? Bahkan Zera tidak pernah memikirkan hal itu. Ntahlah. Jika memang akhirnya dia akan bersama Faris, Zera tidak menyesal. Faris juga orang yang baik. Tapi, Zera sadar. Hati Faris juga masih milik Sandra. Betapa beruntungnya Sandra.
Be strong, Zera!
***
Bara sudah berada di balik pintu besar berwarna cokelat tua ini. Entah sudah berapa kali ia memencet bel. Karena setahunya, Sandra sedang sendiri di rumah hari ini. Lalu, kemana pembantu rumah tangganya?
Ah, Bara merasa jarinya sudah kaku akibat memencet bel. Jadilah ia menelepon Sandra. Tapi, cewek itu tak kunjung mengangkat panggilannya.
"Dasar kebo! Pasti tuh anak masih tidur ..." gerutu Bara sembari terus mengklik nama Sandra di panggilan teleponnya.
"Untunggg sayang!" seru Bara gemas seraya kembali mengklik nama Sandra setelah panggilannya tadi tidak terjawab.
Bara mematikan panggilannya ketika mendengar suara gedebak-gedebuk langkah orang terburu-buru dari dalam rumah. Lalu, pintu perlahan-lahan terbuka dan menampilkan Sandra yang sudah siap dengan pakaian casualnya. Ia mengenakan atasan berwarna pink dan celana jeans putih yang ia gulung bagian bawahnya. Dilengkapi dengan sepatu sneakers putih dengan sedikit warna pink. Cewek itu mengikat rambutnya satu ke belakang. Ia memegang tali sling bag nya dengan senyuman cerah menyapa Bara.
"Lo udah siap, tapi telepon gue gak diangkat?"
"Sengaja. Pasti lama kalau angkat telepon kakak dulu."
Bara mendengus. "Pembantu rumah lo mana? Kok gak bukain gue pintu?"
"Bi Iyah mau hajatan, pergi tadi pagi banget, bi Sari udah pulang dari kemaren-kemaren, anaknya ada lomba LCT tingkat kabupaten katanya."
Bara hanya ber-oh ria. Ternyata, cewek ini sendiri di rumahnya. Pantas saja rumah ini terlihat sangat sepi.
"Ya udah yuk! Nanti kesiangan."
"Kunci dulu pintu rumahnya, kemalingan baru deh lo tau rasa."
"Astaghfirullah mulutmu bang!"
Bara tertawa mendengar panggilan yang baru saja Sandra ucapkan. Ntahlah, kata itu terdengar lucu di telinganya. Setelah Sandra mengunci pintu rumahnya, mereka menuju ke mobil Bara.
"Kak Bara mau beli buku apa sih?" tanya Sandra saat mereka sudah duduk di dalam mobil.
"Entah. Yang penting belinya sama lo, gue asal ambil aja."
"Modus kalo gitu."
Bara hanya bergumam, lalu menghidupkan mesin mobilnya. "Udah siap?" Ia menoleh ke Sandra. Cewek itu mengangguk. Bukannya menjalankan mobilnya, Bara malah berdecak cukup keras.
"Kebiasaan. Seat belt wajib dipake! Nanti kenapa-napa!" ucap Bara memperingatkan seraya memasangkan seat belt Sandra.
Dan saat itu juga,
Sandra berhenti bernapas.
***
Mati dong?
Jangan lupa vote comment
With love,
U
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelarian (COMPLETE)
Ficção Adolescente"Maaf, ini hati. Bukan running track yang bisa kamu jadikan sebagai ajang berlari, apalagi pelarian!" ::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::: Terkadang, takdir itu memang lucu. Saat Sandra mulai berhenti, Ba...