Yuta menghela nafas berat, duduk di tangga itu bersender di anak tangga belakangnya. Theo di sampingnya menemani, dengan jari sibuk pada hape bermain games online.
"Ngapain lo masih di sini," tanya Theo tak menoleh dan fokus ke layar hape.
"Besok udah bagi rapot, entar liburan. Bisa-bisa terakhir ketemu Nisa," jawab Yuta membuat Theo mendecih.
"Tumbenan masih dikejer," kata Theo membuat Yuta melirik. "Lo juga biasanya nggak betah."
Yuta mendengus, "napa dah semua orang remehin gue banget. Yang ini gue beneran."
Theo mendecih saja, masih tak percaya. Masih dengan tangan sibuk bermain.
Yuta menarik nafas, menghembuskan pelan dan kembali bersandar. "Sekarang gue ngerti perasaan lo," katanya membuat Theo mengernyit tak paham.
"Ternyata gini rasanya."
"Apanya," sahut Theo tenang, masih tak menolehkan kepala.
"Seneng aja," kata Yuta santai, "liat mukanya kayak udah seneng gitu. Bahkan walau kalau ngobrol anaknya pedes banget, udah bikin bahagia. Terus kayak... yaudah kalau dia nggak suka juga sama gue tapi yang penting dia bahagia. Gitu nggak sih?" tanyanya polos menoleh pada Theo yang terkekeh kecil.
"Makanya gue ngerasa dia jodoh gue," lanjut Yuta dengan sungguh-sungguh.
"Semua aja lo bilang jodoh lo," kata Theo sinis, membuat Yuta mendecih kesal.
Yuta melengos pelan. Ia diam beberapa saat.
"Tapi gue takut Ceng marah," kata Yuta membuat Theo tersentak kali ini.
"Kemaren gue bilang gimana kalau gue lebih sayang sama Nisa, terus dia marah."
Theo menoleh, tak tahan untuk tidak mendelik. "Lo sinting?" katanya pedas membuat Yuta balik mendelik. "Lo terang-terangan ngomong gitu?"
"Hm," Yuta mengangguk polos.
"Ya marah lah bego," kata Theo mengumpat. "Ngapain lo ngomong gitu. Ya dia ngerasa terancam."
Yuta mendecak, "gue cuma takut aja kalau beneran. Jadi dari sekarang gue kasih tau."
"Ah goblok," umpat Theo memutuskan kembali konsentrasi pada permainannya. "Lo selama ini ngekang dia deket sama cowok, bahkan nggak bolehin dia pacaran. Tapi tau-tau lo ngaku lebih sayang sama cewek lain. Ya sakit lah," sambungnya jadi mengomel.
Yuta mencibir. Ia kembali diam, termenung kecil.
"Gue tuh... selalu pengen, cewek yang nanti bener-bener gue cintai itu temenan sama Ceng. Mau gue nanti beneran bucin atau nikah pun, gue pengen tetep ada Ceng," kata Yuta dari hati dengan suara lebih pelan kini. Menandakan ia lebih serius.
Theo merapatkan bibir, "nggak bisa kayak gitu," katanya dengan suara rendahnya yang serak itu. "Bukan cuma lo yang bisa dewasa, Cece juga. Dia juga berhak bebas milih hidup."
Yuta terdiam. Perlahan raut wajahnya berubah mengeruh. Pemuda itu tiba-tiba menggeram frustasi, membuat Theo tersentak kecil.
"Nggak bisa Yong! Gue nggak bisa bayangin Ceng jauh dari gue. Mikirin dia udah gede aja gue sering nangis," kata Yuta dengan jujur.
Theo jadi ikut menggeram, kesal. "Berenti egois, goblok. Selama ini bukan cuma elo yang nurut sama Cece, dia juga selalu ngikutin mau lo. Jadi sama-sama ngerti aja," katanya kembali mengomel kali ini lebih gemas.
"Ah lo mah nggak ngerti," rengek Yuta bersandar lebih ke tiduran kini sambil memanyunkan bibir.
Theo melengos keras. Bingung sendiri kadang Yuta memang seegois itu. Bahkan jika menyayangi seseorang, pemuda Jepang ini akan sangat protektif seperti menjaga harta karun besar. Dia jarang mencintai, tapi sekalinya terjadi bisa rela mati demi orang itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
K 0.1✔ ✔
Teen FictionDi Jepang, ada tiga cara untuk mengupkapkan perasaan cinta. Daisuki, untuk teman atau orang yang kamu suka. Aishiteru, untuk hubungan spesial yang lebih serius. Dan Koishiteru. Untuk orang yang ingin kamu habiskan hidup bersamanya. [ cerita mengadu...