Nisa menekuk kedua lutut di atas sofa, memeluknya dan termenung di ruang tengah. Ia melirik, memandangi sang ayah yang duduk di dekatnya sedang membaca buku.
"Apa kemungkinan terburuk?" tanya Nisa membuat ayahnya melirik. Gadis itu menaruh dagu di atas lututnya, "berapa persen kemungkinan operasi?"
Ayah Nisa menipiskan bibir, diam sejenak. "Jatohnya keras dan parah. Bukannya kita sering bahas ini? Accidental trauma. Kalau dibiarin, bisa buat cedera lebih dan berlanjut."
Nisa mendecak. Ia jadi lesu kini.
"Tapi dia masih kecil. Karena itu, kita lagi cari cara lain," sambung Ayah Nisa membuat gadis itu melirik. "Tapi dia shock berat, mungkin baru pertama kali kecelakaan. Jadi masih harus pastiin mental pasien juga."
Nisa melengos berat. Menempelkan bawah bibir ke atas lutut yang ia peluk. "Dia anak yang baik..." katanya dengan lirih.
"Hm, keliatan," sahut Ayah Nisa tenang. "Keluarganya bener-bener terpukul. Dia pasti bungsu kesayangan."
Nisa diam kali ini. Gadis itu membisu, meneguk ludah merasa getir sendiri.
Kini ia jadi merasa bersalah. Mengingat betapa jahatnya perlakuan dan ucapannya pada pemuda itu dulu. Bagaimana Nisa memperlakukannya dengan kejam dan seenaknya.
Nisa pikir... dia tak punya hati. Nyatanya, punya hati yang terluka parah.
Nisa menggigit bibir. Lalu mendecak dan turun dari sofa beranjak pergi. "Aku ke rumah sakit," pamit gadis itu begitu saja. Melangkah ke kamar segera mengambil jaket dan hapenya.
Ayah Nisa melirik. Ia diam, tapi tergelitik untuk bertanya saat Nisa keluar dari kamar.
"Pacar kamu ya?"
Gadis tinggi itu terkejut setengah mati. Berhenti dan menoleh kaget.
"Si Kazuhiko itu. Gebetan?"
"Ck, apa sih," elak Nisa jadi salah tingkah. "Sachi—Maksudnya Yuka, dia satu ekskul sama aku. Kakaknya sering ngintilin, jadi kenal juga."
"Ah masa," goda ayahnya membuat Nisa mendelik. "Kamu lebih khawatir sama kakaknya daripada sama adeknya."
Nisa membuka mulut, ingin menyahut. Tapi ia malah jadi hilang kata, buntu harus mengelak apa. Ia jadi mendengus, dengan bibir cemberut segera beranjak kabur.
"Aku mau tidur di rumah sakit aja malam ini!" kata gadis itu ngambek dan keluar rumah.
"He dikira rumah sakit punya bapak kamu!" tegur sang ayah mengomel. Tapi si anak semata wayang itu sudah keluar rumah dan menutup pintu.
Nisa memakai jaket, keluar dari rumah dan melangkah ke sisi barat rumah sakit. Rumahnya masih berada di area rumah sakit ini. Membuat gadis itu sudah terbiasa dengan lingkungan ini. Kalau orang lain punya POS Kamling, Nisa punya Rumah Sakit samping rumahnya.
Gadis itu mendecak, tersadar tak membawa kacamata. Ia mengerjap, berdoa saja tak ada kejadian memalukan yang membuat pandangannya kabur. Walau terbiasa di area ini, tetap saja kadang kalau ada yang negur gadis itu harus menyipitkan mata setipis mungkin untuk memastikan siapa yang memanggilnya.
Nisa menuju gedung VIP. Ia menuju ruangan tempat tadi Sachio dirawat. Gadis itu memasuki lift sendirian, menunggu beberapa saat.
Pintu terbuka. Ia melangkah keluar. Namun baru akan berbelok, Nisa tersentak. Nisa refleks berhenti, tertegun melihat pemuda itu di area duduk di lantai itu sendirian dengan hape di samping telinga. Kepalanya tertunduk, dan bisa mendengar suara bergetar terisak di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
K 0.1✔ ✔
Teen FictionDi Jepang, ada tiga cara untuk mengupkapkan perasaan cinta. Daisuki, untuk teman atau orang yang kamu suka. Aishiteru, untuk hubungan spesial yang lebih serius. Dan Koishiteru. Untuk orang yang ingin kamu habiskan hidup bersamanya. [ cerita mengadu...