Nisa melirik, mendelik bingung pada Yuta di sampingnya yang mengatur letak mangkuk soto di meja dan bersiap dengan kamera hape untuk dipoto.
Nisa melirik sekitar, malu sendiri. "Kenapa sih kalau makan harus update dulu?" tanyanya sinis.
Yuta memotret sekali, kemudian merapatkan bibir menoleh. "Update apa. Ini kirim ke nyokap gue ngasih tau kalau gue lagi makan," katanya membuat Nisa terdiam.
Yuta mencibir padanya, menaruh hape dan menarik mangkuk mendekat. "Kenapa lo nggak makan?" tanyanya melirik gelas Es Milo Tabur milik Nisa.
"Gue udah makan," jawab Nisa santai.
Walau Nisa jadi tersadar ketika Yuta mendecih menyindir padanya. Kemudian dengan bibir menahan senyum meraih sendok mengaduk pelan soto.
Gadis itu mengulum bibir, melipat kedua tangan di atas meja berdehem pelan. "Eum... ada perkembangan?" katanya mengalihkan pembicaraan.
Yuta melirik, mendesah sesaat. "Belum bangun. Dia masih dikasih obat bius."
"Hmm," Nisa diam sejenak, mengerjap sendu. "Itu untuk matiin rasa sakitnya. Karena kalau dia bangun pasti bakal kerasa banget lukanya," katanya membuat Yuta diam-diam ngilu, kini hanya mengaduk pelan sendok.
"Tapi karena dia diinfus energinya bakal selalu datang," kata Nisa segera untuk menenangkan. "Lagian, kayak yang gue bilang. Dokter memang harus ngasih tau dua hal, harapan sama kemungkinan terburuk. Bukan berarti sudah dipastikan hasilnya."
"Hmm," Yuta bergumam saja, merunduk memain-mainkan telur rebus di kuah soto dengan tak minat.
Yuta diam sejenak. Menarik nafas dalam, menghembuskan pelan dan menoleh memandang Nisa. "Eum... emang harus amputasi?" tanya lirih, berusaha tidak terdengar bergetar. "Dia... cuma jatoh. Maksud gue, nggak terinfeksi atau kecelakaan fatal. Gue bego bego gini juga paham dikit," katanya mencoba tetap seperti biasa.
"Ya itu kemungkinan terburuknya," kata Nisa menjelaskan. "Operasi itu pilihan paling akhir. Ada beberapa tahap dulu untuk mutuskan. Lagian, bukan cuma papa gue yang bakal tanganin. Pasti ada spesialis lain untuk ngerundingin nantinya gimana."
Yuta mengatupkan bibir, mengalihkan wajah dan kembali menunduk.
"Diliat dulu kondisinya gimana. Yang paling penting mental si pasien. Sachio masih kecil, menurut gue dokter juga pasti berusaha untuk ngindarin operasi," kata Nisa menenangkan.
Nisa menarik nafas dalam, menghembuskan perlahan. "Karena... kalau tulang kaki dia trauma dan dibiarin... bakal terus lanjut. Dan yang lo bilang, infeksi itu. Karena itu dokter bilang kemungkinan terburuknya diambil. Untuk ngehindarin ke depannya."
Yuta mendecak, "trauma gimana?" tanyanya tak tenang.
Nisa menipiskan bibir, "elo tau... tubuh kita itu adalah susunan partikel-partikel beda. Tiap partikelnya punya sifat beda. Ada juga namanya shock dan trauma tubuh." Ia berhenti sejenak, memandang gelas esnya dengan tatapan merenung.
"Dulu, ada pasien bokap gue yang ngalamin kemiringan tulang belakang. Sama kayak sekarang, papa juga bilang kemungkinan terburuk adalah operasi. Pasien itu tau, mentalnya jadi berantakan. Dan akhirnya, tulang dia trauma..."
Yuta mengernyit, tak paham sama sekali. "Gimana tau kalau trauma? Tulangnya teriak gitu?"
Nisa memutar bola mata sesaat, "serius ini," katanya membuat Yuta merapatkan bibir.
Nisa mendengus kecil, "jadi tiap punggung atau pinggangnya dipegang atau dapat sentuhan sekecil apapun, dia bakal histeris dan ketakutan. Bahkan, dia ngaku punggungnya langsung kesakitan perih tiap ada yang megang dia. Punggungnya bakal terasa tegang dan ngilu. Karena hal itu, dia takut ada di keramaian karena takut punggungnya kesentuh nggak sengaja sama orang asing."
KAMU SEDANG MEMBACA
K 0.1✔ ✔
Teen FictionDi Jepang, ada tiga cara untuk mengupkapkan perasaan cinta. Daisuki, untuk teman atau orang yang kamu suka. Aishiteru, untuk hubungan spesial yang lebih serius. Dan Koishiteru. Untuk orang yang ingin kamu habiskan hidup bersamanya. [ cerita mengadu...