WG - Delapan

63 16 1
                                    

Almira masuk ke area dapur setelah istirahat sekitar 20 menit. Ia tak mau merepotkan atau terlihat lemah di tempat kerjanya. Dengan lemas ia segera memasang apronnya dan mulai melihat beberapa pesanan yang harus ia buat.

“Loh, Al? Lebih baik kau istirahat. Jangan paksakan dirimu bekerja,” ujar Changsub saat melihat Almira masuk ke area dapur. Semua pegawainya yang lain langsung saja melirik-lirik untuk mencari tahu ada apa.

“Tidak, aku harus bekerja. Mau makan apa aku kalau malas-malasan?” tanya Almira sambil tersenyum. Walau masih tampak lemas, Almira tetap melakukan pekerjaannya.

“Bukan begitu. Tapi … aku rasa bukan ide yang bagus kalau kau bekerja sekarang. Perutmu kosong sekarang karena tadi kau mengeluarkan isinya.” Almira menggeleng lalu kembali pada kegiatannya. Changsub yang melihat itu hanya menghela napas, lantas memberi amanat pada Bill untuk memperhatikannya.

Bill juga sempat menyarankan agar wanita itu menurut saja pada atasannya, tapi yang namanya Almira itu memang keras kepala. Ia seakan menulikan pendengarannya dan tetap bekerja.




***

Almira dan Bill keluar bersamaan saat jam kerja selesai. Malam menjemput, membuat Bill tak enak hati kalau membiarkan wanita itu berjalan sendirian ke halte bus apalagi kondisinya tidak baik. Lantas ia segera menawarkan tumpangan.

Awalnya Almira ingin sekali menolak, tapi saat ia melihat mobil yang sangat dikenalnya menuju ke arah café, ia segera menyetujui ajakannya dan menarik Bill dengan tergesa. Sayang, belum sempat ia memakai helm … orang yang baru saja menghentikan mobilnya itu keluar dan mencegah pergerakan Almira.

“Ayo, pulang!” ajaknya sambil menarik Almira. Tapi wanita itu segera menghentakkan tangannya dan memasang raut tak suka.

“Aku pulang dengannya, permisi.” Tapi belum sempat ia melanjutkan kegiatannya, lelaki tadi yang ternyata Kihyun kembali menarik tangannya.

“Jangan buat aku jadi memaksamu, Al,” ucapnya membuat Bill yang mengerti karena situasinya segera menengahi. “apa?”

Bill berkata, “Jangan paksa kalau dia tak mau.”

Kihyun tersenyum tipis, tapi tetap menariknya agar masuk ke dalam mobil. Bill yang ingin mencegahnya segera dihadang oleh Kihyun dengan kalimat, “Dia kekasihku. Aku tahu dia sedang sakit, jadi aku lebih tahu apa yang harus dilakukan. Permisi.”

Bill memicingkan mata karena tak bisa melihat dengan pasti wajah Kihyun yang lengkap dengan penyamaran itu, tapi ia juga tak bisa ikut campur karena lelaki tadi ternyata kekasih temannya.

Sementara di dalam mobil, Almira sudah tak punya niatan untuk berontak walau ia sangat muak bisa ada dalam satu mobil dengan Kihyun.

“Sudah makan?” tanya Kihyun yang tak mendapatkan respons apa-apa dari sang empu. “Almira, aku bertanya padamu.”

“Memangnya apa pedulimu, ha?” tanya Almira dengan sinis sambil menatapnya tak suka. Kihyun tak lagi bertanya dan segera melajukan mobil ke apartemen kekasihnya. Walau sudah diusir pun, Kihyun tetap berkukuh masuk dan memasakkan makan malam untuknya.

Almira sendiri sibuk membersihkan diri dan bersiap tidur. Tapi belum lama ia merebah, selimutnya ditarik paksa dan Kihyun segera menyuruhnya makan. Almira bergeming, masa bodoh jika tidurnya tanpa selimut.

Tapi Kihyun tak juga menyerah, dia langsung saja menggendong Almira ala bridal style dan mengabaikan pekikannya yang kukuh tak ingin makan. Belum sampai di situ, baru saja Almira didudukkan di kursi pun ia tetap bersikeras ingin kembali ke kamar.

Dan Kihyun segera menahannya dengan merentangkan kedua tangan lalu memeluk Almira sambil berusaha mendorongnya agar kembali duduk di kursi meja makan.

Ish! Mau apa kau ini?!” teriak Almira kesal.

“Makan malam!” jawab Kihyun tak kalah jengkel. “Apa susahnya makan masakanku? Untuk sekarang pikirkan kandunganmu. Kalau memang tak ingin makan masakanku, kau bisa masak sendiri atau pesan dari luar.”

Almira tak menyahut, kekesalannya sampai di ubun-ubun. Tapi matanya melirik ke arah perutnya sendiri. Entah apa yang ia rasakan sekarang, ia pun tak mengerti. Apa harus dia menyelamatkan dan merawat anaknya? Atau sekalian saja dia gugurkan seperti apa yang sudah ia utarakan saat tahu bahwa dirinya berbadan dua?

“Al …” Almira tak merespons panggilan Kihyun, tepat ketika Rin masuk ke dalam apartemen.

“Rin, pesankan aku makanan dari luar.” Rin menatap bingung pada keduanya, setelah itu Almira masuk ke dalam kamar dan hening menyelimuti ruangan.

Kihyun menghela napas sambil melihat sekilas tempat sampah di mana sarapan yang tadi dibuatnya ada di sana, apa mungkin masakannya malam ini juga akan bernasib sama? Tapi sebelum berpikir jauh, ia melihat Rin dan mengangguk. “Pesankan saja.”




***

Keesokkan harinya, Almira pergi sebelum Kihyun datang ke apartemen dan membuatkannya sarapan. Ia pergi bersama Rin untuk mencari sarapan bersama di luar. Rin sendiri tak masalah, selama itu bisa membuat Almira mau makan.

Mereka masuk ke dalam rumah makan yang buka lebih pagi dan memesan sesuatu. Kebetulan mereka adalah pembeli pertama, karena keadaan rumah makan itu masih sepi. Toh orang-orang pun mungkin masih betah di rumah masing-masing. Keadaan jalan juga masih lenggang.

“Silakan …” ucap seorang pria yang mungkin lebih tua dari Almira tersenyum dengan ramah. Menyajikan makanan dengan baik lalu kembali ke seorang wanita yang sibuk mengelus perut besarnya di dekat meja kasir.

Keduanya terkikik, mungkin melakukan pembicaraan yang menyenangkan pikir Almira.

“Berapa bulan?” Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Almira. Rin yang sedang mengunyah pun jadi ikut mengalihkan atensinya ke sang teman. “Kandungannya menginjak berapa bulan?”

“Oh, sudah 8 bulan,” jawab wanita itu sambil tersenyum.

Almira mengangguk pelan, ia menyaksikan bagaimana suami wanita itu dengan cekatan memberikan susu ibu hamil untuk istrinya. Iri, bukan main perasaan itu mengoyak hatinya. Mata Almira berkaca-kaca, tapi ia pasti bakal dipandang lemah kalau menumpahkan perasaannya sekarang.

“Ini anak pertama kami loh, Nona.” Ucapan lelaki itu membuyarkan lamunan singkat Almira. Senyum bahagia lelaki itu tercetak jelas di wajahnya. “Setelah lima tahun menikah, akhirnya Tuhan percaya pada kami untuk menjaga seorang bayi.”

Hati Almira mencelos, ia merasakan Rin mengusap punggung tangannya. Entah darimana datangnya, ia langsung merasa dirinya adalah wanita paling jahat karena sempat berpikir untuk menggugurkan kandungannya di saat orang lain yang mengharapkan sosok bayi harus menunggu sampai bertahun-tahun lamanya.

Mungkin memang iya dia tak terima karena Kihyun lari dari berita kehamilannya, tapi sungguh sekarang ia bertanya-tanya … apa salah bayi dalam kandungannya sampai mengharuskan ia untuk membunuh jabang bayi itu?

Detik itu juga Almira menitikkan air mata, membuat ketiga orang lain di dalam ruangan heran padanya. Kemudian Rin menjelaskan kalau Almira pun sedang hamil, tapi di tengah kehamilannya ia malah dilanda masalah.

Melihat itu, lelaki pemilik rumah makan segera bergegas masuk ke dapur. Tak lama kemudian membawakan segelas susu vanilla di mejanya. “Mungkin Nona punya masalah yang sulit diselesaikan, apalagi kalau sedang hamil perasaannya menjadi lebih sensitif. Saya tak bisa membantu banyak, hanya ini … silakan minum. Ini susu ibu hamil.”

Almira mengangguk, lalu memegang gelas susu hangat itu dengan pelan.

“Kenapa harus suami orang lain yang memberiku susu ini?” tanya Almira dengan suara yang sangat pelan namun terselip kepedihan dalam setiap intonasinya.

Winter's GiftTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang