Almira mengelus perutnya sambil tersenyum canggung, ia memutar tubuhnya ke arah Kihyun yang baru saja mengantarnya ke depan pagar rumah. Jam sudah menunjukkan pukul tiga sore, seharian ini Kihyun mengajaknya untuk bersenang-senang. Ke tempat yang tentu saja tidak mengharuskan Almira kelelahan.
“Terima kasih untuk hari ini,” ucap Almira yang hanya disahuti oleh anggukan dari Kihyun. “terima kasih juga untuk semuanya.”Untuk kalimat kedua, Kihyun sempat terdiam walau pada akhirnya tetap mengangguk sebagai sahutan.
Sementara mereka belum mau bicara apa-apa lagi, Almira dan Kihyun sibuk mengedarkan pandangan ke sekitar saking bingungnya. Mereka memutar otak untuk merangkai kata, bagaimana baiknya mengatakan perpisahan yang tidak menyakitkan. Setidaknya perpisahan ini tidak membekas di kemudian hari.
Walau keduanya tak yakin akan hal itu.
“Kihyun-a,” panggil Almira akhirnya dengan tatapan yang ragu. Kihyun tak menatapnya dan lebih memilih memperhatikan sepatunya yang tidak menarik untuk sekarang. “aku harap kau juga bahagia.”
Kihyun memejamkan matanya dan memberanikan diri membalas tatapan Almira, tatapan yang akan dirindukannya suatu hari nanti. Padahal niatnya dia hanya akan mengucapkan selamat tinggal dan pergi begitu saja.
Ternyata tidak semudah yang ia perkirakan. Nyatanya kaki Kihyun yang sedaritadi tak luput dari perhatiannya tetap tak mau beranjak dari tempatnya sekarang. Seakan-akan ada lem perekat antara sepatu dan tanah di mana ia berpijak.
“Boleh aku memelukmu?” tanya Kihyun dengan sorot mata penuh penyesalan. Almira menahan diri agar matanya tak menunjukkan hal yang sama, dia menekan gejolak dalam dadanya untuk menunjukkan emosi yang berlebihan. “Untuk yang terakhir kalinya.”
Almira tak menjawab, namun kedua tangannya otomatis terlentang dan kakinya melangkah pasti ke hadapan Kihyun. Jemari lentiknya mengusap punggung sang empu saat mereka berpelukan, menimbulkan reaksi yang begitu membuat tubuh Kihyun melemas.
Akhirnya lelaki itu membalas pelukan Almira, wajahnya ia sembunyikan di ceruk leher wanita itu. Ego dan hatinya bertarung hebat, tentang apakah keputusannya sekarang adalah yang paling tepat?
Mulutnya terbuka, hendak mengucapkan kalimat pengungkapan penuh cinta. Tapi egonya menentang dan menyuruhnya untuk bungkam jika tak ingin menciptakan suasana yang makin menyedihkan. Jangan sampai perasaannya memberatkan hati Almira.
“Kuharap kau bertemu seseorang yang lebih baik dariku, semoga kalian bahagia.”
Harusnya Kihyun yang mengatakan itu, biar bagaimanapun Almira lebih membutuhkan seseorang tersebut. Tapi ia tak rela, Kihyun tak mau munafik untuk mengatakan demikian. Ia masih berharap bahwa seseorang itu adalah dirinya.
Kihyun sadar, Almira lebih dewasa dan tenang sekarang. Wanita ini masih memikirkan kebahagiaannya dan memanjatkan harapan-harapan yang begitu indah. Kihyun malu pada dirinya sendiri, ia benar-benar merasa buruk.
Walau enggan, Kihyun melepaskan pelukannya karena Almira yang memulai. Tapi tangannya masih memegang kedua bahu Almira dan matanya fokus ke satu titik di mana wanita itu pernah menganggapnya sebagai sumber masalah.
Kandungannya.
Perut yang tanpa sadar sudah sebesar itu kini ia saksikan dengan miris, sebentar lagi bayi yang ada di sana akan lahir ke dunia tanpa mengenal sosok ayah. Kihyun hanya menjadi orang lain nantinya jika bayi itu melihatnya.
Tangannya bergetar, ingin sekali mengelus perut Almira dan menyampaikan beberapa harapan untuk anaknya. Ya, anaknya yang dulu tak ia anggap sebagai bagian dari dirinya. Namun kurang ajar rasanya jika ia melakukan hal tersebut, bahkan semesta takkan mengizinkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Winter's Gift
FanfictionDinginnya udara di akhir tahun mungkin tidak akan bisa mengalahkan tatapanmu kala itu. Pekatnya bau darah akibat luka yang tercipta pun masih seakan menyapa. Musim dingin nan indah itu menjadi benang kusut yang hingga kini enggan kurapikan. Sayang...