WG - Sembilan Belas

54 15 14
                                    

Beberapa minggu berlalu sejak Almira tinggal bersama ibunya. Semuanya cukup baik-baik saja karena memang ia lebih memilih sering diam di rumah. Sejujurnya ia masih cukup takut karena cemoohan orang-orang, kalau saja Hana tak membujuknya.

“Kau harus mendapatkan cahaya matahari!” ujarnya sambil memilihkan pakaian untuk Almira. Wanita ini baru saja selesai membersihkan diri, niatnya ingin mencuci setelah ini. “Kau masih hamil muda, kan? Jangan terlalu banyak pekerjaan. Mencucinya nanti saja aku bantu, sekarang kita pergi ke luar.”

Almira dan Hana akhirnya pergi ke pasar dan membeli beberapa makanan. Dipikir-pikir Almira memang cukup bosan dengan camilannya yang dibeli di supermarket. Mungkin membeli beberapa makanan atau gorengan bisa membuat ketakutannya hilang. Lagipula cepat atau lambat ia harus bisa bersosialisasi dengan warga sekitar.

Perjalannya cukup menyenangkan. Selama ini Almira selalu murung dan cenderung menangis mengingat masalahnya. Hana bersyukur ajakannya membuahkan tawa yang bahagia dari Almira setelah sekian lama. Mungkin efek suka pada makanan juga. Sekarang tangan mereka sudah penuh dengan beberapa jenis santapan.

“Mau istirahat dulu?” Almira mengangguk dan duduk di salah satu kursi taman yang tak jauh dari jajanan pasar. Berat badannya sudah naik beberapa kilo karena kehamilannya, jadi Almira mudah lelah.

Namun tak lama mereka bercengkrama, beberapa pasang mata menatap mereka rendah. Almira sangat sadar akan hal itu, jadi rasa semangatnya langsung menyurut.

“Ayolah, Al! Jangan begini terus,” bujuk Hana sambil menggenggam tangannya. “berita itu akan hilang seiring dengan berjalannya waktu. Kau harus bisa tahan dan kuat menghadapi ini.

“Masih sulit,” sahut Almira pelan. Hana tak bicara lagi, ia tahu menjadi Almira bukan perkara yang mudah. Mungkin memang perlu waktu yang lebih banyak. “apa kau punya lowongan pekerjaan?”

“Kenapa memangnya?” tanya Hana bingung karena topik beralih dengan tiba-tiba. “Jangan bilang kau mau bekerja?”

“Aku mana mungkin diam terus, seperti katamu. Aku perlu uang untuk persalinan nanti dan aku perlu pengalihan perhatian juga,” jawab Almira memainkan jari-jarinya. “aku tahu eomma mulai bekerja lagi sebagai pengantar susu di pagi hari. Uangku memang sudah hampir habis. Dan aku tak mungkin membiarkannya bekerja sendiri.”

Hana menghela napas, ia memutar otak soal lowongan pekerjaan. Akhirnya karena ingat Almira seorang chef, jadi ia menawarkan Almira bekerja di sebuah hotel di mana dulu ia sempat bekerja. Kebetulan Hana kenal baik dengan salah satu orang di sana.

Ia berusaha untuk mencarikan Almira pekerjaan yang tidak mengharuskan untuk bertemu banyak orang. Sayangnya Almira menolak dengan alasan sekarang ia sedang hamil. Biasanya jika di hotel, mereka tak menerima wanita hamil.

Alasan lainnya ia ingin bekerja yang posisinya tak jauh dari rumah.

“Di dekat rumah kita, tak jauh dari sini, ada rumah makan yang membutuhkan pekerja. Aku tak yakin kau ingin mencobanya,” usul Hana pelan. Almira mengangguk setuju, jauh dari ekspektasi Hana. “tapi pasti beda dengan restoran atau … tempat makan lainnya.”

“Tidak apa-apa.”

Hana mengangguk pasrah, selanjutnya mereka mencoba ke rumah makan tersebut. Tentu saja setelah istirahat lebih lama.














***

Almira sedang mencuci piring setelah makan malam tadi, Yuh Jung mendekat sambil tersenyum lembut. “Maaf merepotkanmu.”

Eomma ini … kenapa, sih?” tanya Almira sambil terkekeh. Yuh Jung menatap anaknya dengan ragu, tangannya memegang sesuatu. “Ada apa?”

Winter's GiftTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang