WG - Dua Puluh Empat

50 16 17
                                    

Kihyun terkesiap saat Almira keluar dari kamar mandi, wanita itu sudah mengganti bajunya dengan hanya menggunakan jubah mandi. Toh, pikir Almira pun ia takkan lama di hotel itu. Hanya berteduh sambil menunggu bajunya kering.

Walaupun sudah Kihyun lindungi sebaik mungkin, tetap saja yang namanya hujan lebat itu kecil kemungkinan kalau tidak basah karena nekat menembusnya.

“Segeralah mandi dan ganti pakaianmu,” ujar Almira kikuk sambil menghampiri kursi meja rias, Kihyun mengangguk lalu menurutinya. Almira yang melihat lelaki itu masuk ke kamar mandi segera beranjak untuk membereskan kamar hotel.

Ia merapikan beberapa peralatannya di tas, merapikan tas Kihyun karena cukup berantakkan, dan mengelap lantainya yang basah. Ia juga membuatkan minuman hangat sejenis susu dan teh.

Setelah itu ia berjalan ke jendela, memandangi keadaan di luar dengan wajah yang ditekuk. Ia mulai bertanya-tanya kapan hujan berhenti. Bersamaan dengan itu, Kihyun keluar dengan pakaian yang lebih nyaman dari sebelumnya. Ternyata cukup cepat.

“Apa kau benar-benar tak mau memakai pakaianku?” tanya Kihyun simpati. Almira menggeleng sambil duduk di sofa di depan TV.

“Pakaianmu pun takkan muat di tubuhku.” Almira sebenarnya tak ingin mengatakan itu, karena secara tak langsung ia menjelaskan kalau tubuhnya sudah cukup gemuk. Kihyun mengangguk sambil menunjuk dua cangkir di meja, dan Almira mengatakan bahwa ia sengaja membuatnya.

Tak ada yang memulai pembicaraan saat keduanya duduk bersebelahan sambil memirsa acara TV yang menunjukkan sebuah variety show. Tawa yang tercetak jelas di layar sama sekali tidak membuat keduanya ikut tertawa.

Kihyun meliriki Almira sebentar, lalu bergegas mengambil selimut dan memakaikannya pada wanita itu. “Kau hanya memakai handuk, kurasa tak cukup hangat untuk sekarang.”

“Hm, terima kasih.” Ternyata bukan hanya bersimpati karena khawatir Almira akan kedinginan, detik berikutnya ia juga masih melirikinya tanpa alasan. Almira bukannya tahan bisa pura-pura tak tahu, rasanya ia risi. Jadi dengan berani Almira menatap Kihyun dalam jarak yang sedekat ini.

Err … sebenarnya tidak benar-benar dekat, tapi jika diingat-ingat dulu Almira bisa lebih parah karena tak mau melihat atau dekat-dekat dengannya. Iya, kan?

“Ada apa?” tanya Almira to the point. Kihyun gelagapan dan menggeleng sambil kembali menatap layar dan memperhatikan acaranya. Almira yang sudah sangat hapal dengan karakter Kihyun hanya menghela napas lalu mengusap perutnya.

Sempat ia ragu, namun memberitahu untuk menuntaskan rasa penasaran Kihyun apa salahnya?

“Kandungannya baik, sehat, dan diperkirakan lahir sekitar bulan Oktober,” ucap Almira sambil memandangi perut buncitnya. “kau tak perlu khawatir.”

Jadi sebenarnya sejak tadi Kihyun bukan hanya melirikinya, tapi perutnya juga. Bahkan sejak mereka makan malam tadi.

Kihyun membungkam mulut, ia bingung harus memberikan repons seperti apa. Kalau ia menyahut dengan ucapan bentuk rasa syukur, rasanya kurang ajar karena dia sama sekali tak membantu Almira untuk merawat kandungannya secara langsung.

Tapi diam pun bukan pilihan yang baik, jadi dia hanya bergumam tak jelas.

“Kau tak perlu cemas, ketika anak ini lahir pun aku takkan mengatakan bahwa kau adalah ayahnya,” kata Almira mengundang perhatian Kihyun. Entah kenapa hatinya merasa dicubit sekarang, ia sedikit kecewa. “tapi kurasa kau perlu tahu kalau dia baik-baik saja. Jadi tak usah pedulikan aku.”

“Bukan begitu maksudku …” sahut Kihyun pelan, ia mengubah sedikit posisi duduknya hingga menyamping ke arah Almira. “… apa aku benar-benar tak bisa bertemu denganmu lagi setelah hari ini?”

Winter's GiftTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang