Prelude #01

39 6 28
                                    

Nataya sudah sepenuhnya sadar kala pagi belum genap turun ke bumi Antah, melakukan sebentuk kompensasi dari hidup menumpang di rumah orang. Walaupun telah diberitahu bahwa dia merupakan bagian dari keluarga oleh keluarga barunya, Nataya tak bisa lagi serta-merta percaya dengan 'kata manis' yang sempat buat dirinya mengembangkan senyum secerah mentari saat pertama kali dirinya diadopsi dari panti asuhan dan harus menelan pil pahit karena kehidupan di luar panti justru lebih buruk. 

Setiap pagi dia harus membuatkan kopi hitam untuk tuan rumah lelaki, teh susu untuk tuan rumah perempuan, Susu program diet buat anak perempuan mereka, lauk-pauk sudah dipanaskan dan lantai sudah disapu. Segalanya harus selesai begitu para tetuan rumah bangun dari lelapan tidur indahnya. Jika itu tak terlaksana, maka hantaman rotan atau lecutan ikat pinggang bergesper ganjarannya dan tak jarang Nataya harus ke sekolah dengan perut kosong sebagai tambahan hukuman.

Sudah cukup..

Kata itu tercetus dalam benak dan terpatri dalam tekad disela lecutan ikat pinggang yang mengelupas kulit punggung, sebagai hukuman akibat telat pulang dari sang tuan rumah lelaki.

Seperti pepatah 'Bahkan tikus kecil pun akan menyerang balik jika telah tersudut', Nataya sudah tak bisa lagi meringkuk-tunduk patuh sambil terus mengobati luka, tirani ini harus dihentikan hingga ke akarnya.

Pagi kembali menitis ke bumi Antah yang masih berselimut kabut, namun kali ini bukan bel jam weker yang membangunkan tiap insan yang terlelap melainkan raungan sirene Damkar yang merespon kedaruratan.

Petugas damkar merangsek masuk kedalam rumah yang terbakar dan sesaat kemudian keluar dengan membopong seorang anak kecil sebagai satu-satunya yang selamat dari kejadian itu.

Nataya kemudian diasuh oleh sepasang suami istri yang sudah lama merindu kehadiran seorang anak dan disinilah dirinya, melakukan rutinitas yang sama dengan alasan yang berbeda.

=====

Terkadang kita harus melepas sesuatu yang tertakdir terlepas dari kita. (Anonim)

Bahagia, perasaan itu tergurat jelas di wajah Nataya ketika ia akhirnya bisa membalas setitik kebaikan pasutri yang membesarkan dirinya, dengan memberikan gaji pertamanya dari kerja paruh waktu di sebuah Café. Gaji yang hanya seberapa dibanding kasih sayang yang mereka berikan.

Sayangnya takdir berkata lain, kala dirinya menerima pesan dari ponselnya yang ditinggalkan di loker karyawan sebagai salah satu peraturan mutlak Café bagi pekerjanya.

Ibu lagi di rumah sakit Inochi Ta, ayah alami kecelakaan tadi..

Tak butuh berapa lama, Nataya memacu motornya ke RS yang dimaksud ibu angkatnya.

Kecelakaan kerja menimpa ayah angkatnya ketika beliau hendak selamatkan korban kebakaran yang terjebak di lantai dua.

Beliau selalu mengutamakan keselamatan orang lain, prinsip seperti itu lumrah tercetus dikalangan para penjinak api.

Namun kali ini, ada perasaan ganjil menyerang pusat nalar Nataya, perasaan yang sama ketika dirinya selamat dari kobaran api dua belas tahun lalu.

Bebauan antiseptik serta-merta meruap masuk ke rongga hidung Nataya begitu mengayun langkah ke IRD RS Inochi, pusat semua kedaruratan medis.

Setelah mendapat arahan dari bagian informasi, Nataya bergegas ke ruang pemulasaran.

"Maaf Nata baru bisa datang sekarang," apologinya sambil meraih tangan yang terbalut perban dan menciumnya dengan penuh kehati-hatian.

"Bapak tak ingin membuatmu khawatir Nak," isak sang ibu mewakili sang ayah yang sudah tak bisa lagi menjawab.

Pandangan Nataya mengabur seketika oleh bulir bening yang menuntut untuk ditumpahkan.

Nataya masih berdiri terpaku, menatap nisan yang bertuliskan nama Askar Agni Birawa. Hujan yang sedari tadi mengguyur tak ia hiraukan sama sekali.

Ayah tenang saja di sana, Nata akan jaga ibu; bahagiakan ibu..

Kalimat itu terus mengiang dan mengulang dalam benak Nataya, sampai naungan payung hitam mengumpul ulang kesadarannya yang tebar tadi.

"Pulang yuk?"

Kalimat yang sederhana, namun bisa membuat tiap sendi gerak di tubuh Nataya menurutinya. Sang pengucap tak lain orang yang berbagi duka dengannya, sang ibu.

Takdir itu seperti menggenggam pasir, semakin erat digenggam semakin luruh ia disela genggaman.

¤Tsuzuku¤

Al.Terra Chronicle : ArchivarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang