12 || Peduli

2.7K 135 3
                                    

Cahaya beranjak dari ranjangnya menuju pintu utama rumahnya setelah sejak tadi mendengar bel rumahnya terus berbunyi.
Ia bersumpah akan memukul orang yang sudah berani mengusik tidurnya jika ternyata yang mengetuk pintunya hanya orang iseng saja. Karena saat ini pun kepala Cahaya masih terasa pusing. Tubuhnya masih terasa lemas dan pegal bersamaan.

Jadi, bisa dibayangkan bagaimana penderitaan Cahaya sekarang bukan?

"Ngapain lo ke sini?" tanya Cahaya begitu pintu rumahnya terbuka. Niatnya ingin ketus. Tapi sialnya yang terdengar hanya ucapan lemah saja.

Lelaki itu mengabaikan ucapan Cahaya dan memilih masuk ke dalam rumah Cahaya. Melewati Cahaya begitu saja. Kalau punya cukup tenaga, Cahaya mungkin sudah  memukul lelaki itu hingga babak belur.

"Ngapain lo datang ke sini?" Cahaya mengulang pertanyaannya.

Lelaki itu menatap Cahaya sekilas lalu mengangkat sebuah kantong plastik di tangan kanannya. "Oh ini ... gue bawa makanan buat lo," ucapnya santai yang kemudian langsung duduk begitu saja di sofa ruang tamu Cahaya—melempar tas sekolah yang dipakainya di sana yang lalu menaruh kantong plastik yang dibawanya di atas meja.

Cahaya berjalan ke sofa yang ada di seberang sofa lelaki itu yang lalu duduk di sana. "Buat apaan?"

"Ya, buat lo makan lah. Gue tau, lo pasti belum makan 'kan?"

"Ya terus urusannya sama lo apa? Mau gue udah atau belum makan itu bukan urusan lo."

"Ya, jelas itu urusan gue. Lo lupa kalo gue yang udah antarin lo pulang tadi? Jadi lo jelas tanggung jawab gue saat ini. Lagian kalo sakit itu nggak usah  jutek segala. 'Kan bagus kalo ada yang perhatiin lo," kata Reza yang lalu mengambil bubur yang terbungkus dalam sterofoam di dalam plastik. Membukanya dan menyodorkannya pada Cahaya. "Nih, makan."

Cahaya menatap dingin Reza. Beralih menatap bubur yang tersaji di depannya. Ia memang lapar. Sejak pagi, Cahaya belum sempat memakan apapun. Melihat itu, Reza mengimbuhkan, "Udah deh, makan. Nggak usah segala gengsi atau malu segala."

Cahaya memutar bola mata. Kemudian mengerutkan dahinya. "Kenapa lo mau repot bawain gue bubur segala?"

"Berapa kali sih harus dijelasin? Ok, jawaban utamanya adalah karena gue peduli sama lo. Udah nggak usah banyak tanya. Mending lo tuh makan sekarang." 

Cahaya menatap bubur itu sejenak kemudian beralih menatap Reza. "Bawa pulang sana. Gue nggak lapar," ucapnya ketus.

Reza mendecak. "Gue tau lo lapar. Udah deh, makan aja biar lo cepat sembuh."

"Gue bisa urus diri gue sendiri nanti. Mending lo pulang sana, sekalian bawa bubur lo ini."

"Kalo gitu terpaksa gue nggak akan pulang sebelum lo makan dan habisin bubur yang gue bawa."

Cahaya mendelik tajam. "Yaudah, ok, gue bakalan makan asal lo pulang sekarang."

"Seenggaknya biarin gue di sini dulu lah, ngadem. Masa iya gue udah datang jauh bawain lo makan tapi diusir."

Cahaya berdesis. "Yaudah lo ngadem dulu bentar di sini. Habis itu pulang. Lagian, gue nggak pernah minta lo buat repot bawa nih bubur 'kan?"

"Udah makan aja nggak usah banyak ngomong."

Cahaya menghela napas dan memilih diam saja. Malas berdebat dengan makhluk kurang ajar yang ada di hadapannya. Ia menyendok bubur dan memakannya perlahan. Jujur, makanan itu sama sekali tidak ada rasa di mulutnya alias hambar.

Reza tersenyum melihat Cahaya yang mulai memakan bubur yang dibawanya. Ia beranjak dari sofa Cahaya, hendak pergi ke dapur untuk mengambil minum. Melihat Cahaya yang langsung mendelik ke arahnya, Reza segera berkata, "Numpang ngambil minum, haus."

Cahaya hanya memutar bola mata. Malas untuk menimpali ucapan Reza dan memilih untuk menghabiskan bubur meski rasanya tetap hambar di mulutnya.

"Nih buat lo," ucap Reza setelah kembali dari dapur dan membawa dua gelas minuman. Satu gelas ia berikan pada Cahaya.

Cahaya melihat gelas yang diberikan Reza untuknya—hanya berisi air putih biasa. Sedangkan gelas milik Reza berisi sirup cocopandan yang tampak menyegarkan. "Kok punya gue air putih?"

Reza tersenyum yang lalu duduk kembali di sofa tempatnya tadi. "Lo kalo lagi sakit ternyata rewel juga ya?"

"Sialan lo." Cahaya kemudian meminum air putih itu hingga tinggal setengah dengan raut kesal. Setelah menyudahi makannya, Cahaya kembali menenggak minumnya hingga tandas. Beralih melirik Reza yang tengah duduk seraya mengamatinya membuat Cahaya mendengus.

Reza tersenyum yang lalu berkata, “Gitu dong, makan. Sampai habis gitu.”

Mendengus, Cahaya berkata, “Balik sana lo.”

Reza tak bergeming. Ia malah tersenyum menyebalkan membuat Cahaya mengumpat kesal dalam hati. “Gue udah kelar makan. Terus mau apa lagi lo di sini!?”

Reza terkekeh, “Iya-iya, nggak usah galak gitu. Gue balik nih,” lalu bangkit dari tempat. Ia mengacak rambut Cahaya yang membuat Cahaya kesal dan langsung menepisnya kasar. “Bye Putri jutek. Jangan galak-galak dan cepat sembuh.”

Setelahnya, Reza benar-benar pergi dari sana.

***

Cahaya sedang merebahkan dirinya di atas ranjangnya seraya menatap langit-langit kamarnya dengan pandangan kosong. Pikirannya terus melayang pada ucapan Reza tadi siang.

Cahaya mencoba mengabaikan ucapan Reza tadi siang yang terus terputar bagai kaset rusak di kepalanya meski sulit. Cahaya tidak mengerti akan arti dari ucapan Reza itu.

Tidak ingin ambil pusing, Cahaya pun mengubah posisinya menjadi duduk. Ia mengambil ponselnya yang ada di atas nakas di samping ranjangnya.

Cahaya melihat banyak sekali notifikasi Line di ponselnya yang lalu mulai membuka dan membacanya satu persatu.

Adelia
Cahaya, lo udah mendingan?

Cahaya mulai mengetikkan balasannya di Handphonenya.


PermataCahaya

Udah

Lalu ada juga pesan masuk lainnya dari Ariesta dan juga beberapa teman sekelasnya yang lain yang mempertanyakan hal yang sama seperti Adelia. Perihal kesehatannya yang juga dibalas Cahaya dengan singkat. Tapi yang membuat Cahaya tersenyum adalah salah satu chat dari seorang yang begitu Cahaya  rindukan.

Anjani
Aya, kamu baik-baik saja kan di sana?

PermataCahaya
Cahaya baik kok di sini. Tante tenang aja, nggak usah khawatir

Ada perasaan bersalah yang melingkupinya kala ia harus berbohong pada Anjani. Tapi mau bagaimana lagi? Cahaya tidak mau membuat Anjani khawatir dan terbebani akan hal itu.

Mungkin, besok dia belum bisa masuk sekolah karena kondisinya yang belum sembuh total. Tapi, jika dipikir lagi ada untungnya juga ia sakit dan tidak masuk sekolah. Karena dengan begitu ia bisa terbebas dari banci berengsek yang selalu mampu membuat moodnya hancur.

Siapa lagi kalau bukan Leo?
Tapi, Cahaya tidak bisa terus menghindar bukan? Pada akhirnya, ia harus menjalani itu semua.

Setidaknya Cahaya berharap agar waktu terus berlalu dengan cepat. Dan satu bulan perjanjiannya dengan Leo bisa segera berakhir agar hidupnya bisa kembali tenang seperti dulu.

***

Hallooo, udah up nih saya.
UAS MTK bikin mumet ya ternyata😧

Ada yang rindu dengan Leo kah?
Cahaya? Sama Reza? Atau saya?😂

Ok deh, seqyan dari saya yang lagi mumet dan milih nonton cover dance di youtube

Jangan lupa vote dan comentnya, ya, guys.

See you

Imperfection : Trapped With Troublemakers✓ [Republish+Remake]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang