18 || Tinggal Bersama

2.9K 125 0
                                    

"Resah itu ketika kamu bingung terhadap perasaan di hatimu. Padahal gejolak di dadamu, sudah cukup memberitahumu tentang rasa itu."

—Calileo Abimana Bramasta—

***

"Leo, mau jadi apa jika kamu terus seperti ini, huh?!" Bramasta memijit kepalanya yang pusing karena tadi siang mendapat informasi dari Yolandri—kepala SMA Angkasa bahwa Leo dan gengnya—Belati mungkin berulah di sekolah lain.

Menyenderkan badannya pada kepala sofa, Leo berucap pelan. "Saya capek Pa ... mau istirahat."

"Capek apa? Capek berkelahi?!" Bramasta menjeda, "Papa mengajarkan kamu beladiri dulu bukan untuk berlagak menjadi jagoan seperti sekarang."

"Papa tidak mau tahu. Mulai sekarang kamu tidak boleh keluar dari rumah. Setelah pulang sekolah—"

"Saya bukan anak kecil Pa!" Leo menegakkan badannya dan berucap dengan suara meninggi.

"Kalau kamu merasa bukan anak kecil, maka kamu harus buktikan. Kamu harus bertanggung jawab terhadap hidupmu, demi masa depan kamu."

"Untuk apa? Saya itu nggak punya masa depan! Jadi untuk apa saya harus berubah? Jadi lebih baik hidup saya seperti ini. Atau lebih baik lagi kalau lebih hancur—"

"Leo!" Bramasta bangkit dari posisi duduknya dan menampar Leo yang ada di hadapannya dengan kencang. Leo memegang pipinya yang terasa panas dan beralih menatap Bramasta dengan kecewa. Sedangkan Bramasta terus memandang tangannya yang digunakan untuk menampar Leo dengan menyesal.

"Papa minta maaf. Papa nggak sengaja tampar kamu."

"Leo, Papa mohon turutin kata Papa. Jauhin geng kamu itu, demi Papa dan demi masa depan kamu," lanjutnya. 

"Maaf, saya nggak bisa," Leo menjeda, "Lebih baik saya pergi dari rumah ini daripada saya terus buat Papa kecewa. Saya nggak akan bisa jadi apa yang Papa harapkan." Lalu bangkit dari posisinya. Ia beranjak dari sana, hendak pergi menuju kamarnya yang ada di lantai dua. Tetapi sebelumnya Leo kembali memandang Bramasta. "Papa tenang aja. Saya nggak akan membawa apapun dari rumah ini selain baju saya."

Dan setelah mengucap itu, Leo pun kembali melangkahkan kakinya, meninggalkan Bramasta yang terdiam seraya menatap  Leo dengan kecewa dan sedih.

***

"Tolong jangan pergi dari rumah ini, Leo. Papa salah. Papa minta maaf karena Papa sudah menampar kamu tadi." Bramasta memegang lengan Leo yang akan keluar  dari rumahnya dengan memakai ransel berisi beberapa baju miliknya.

Leo memandang wajah Bramasta lekat, kemudian beralih melepaskan genggaman Bramasta di lengannya. "Papa nggak salah. Ini salah saya karena saya nggak bisa jadi anak yang Papa inginkan."

"Jangan cari saya jika Papa masih ingin melihat saya sekolah,"

"Jaga diri papah baik-baik. Saya pamit," ucap Leo lagi yang kemudian berlalu pergi begitu saja meninggalkan Bramasta yang menatap nanar dirinya. 

Bahkan Leo pergi tanpa membawa apapun  dari rumahnya. Kartu ATM, kunci mobil, kunci motor kecuali ponselnya sudah ia serahkan pada Bramasta. Leo tidak ingin membawa apapun dari sana selain dompet dan ponselnya. Karena Leo masih membutuhkan uang yang ada di dompet juga ponselnya.

Kini hanya satu orang yang bisa ditujunya. Satu-satunya orang yang mungkin mau menampungnya, yaitu ... Reza.

***

"Wah gila lo, man. Lo serius kabur dari rumah?" tanya Fariz kencang yang langsung mendapat tempelengan gratis dari Rio.

"Bacot lo dijaga, entar kalo Tante Danira dengar gimana?" cetus Rio kesal.

Imperfection : Trapped With Troublemakers✓ [Republish+Remake]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang