40 || Belajar Berdamai

1.6K 73 0
                                    

"Kepercayaan ibarat gelas kaca. Yang ketika pecah, tidak akan pernah bisa disatukan kembali. Jadi, jangan salahkan kata maaf bila tak mudah diberi."

—Cahaya Permata—

***

Keadaan Leo masih bisa dibilang jauh lebih baik dibanding keadaan para anggota Belati lainnya. Hanya beberapa luka yang menghias wajahnya.

"Harusnya tadi kita tetap serang mereka. Kalo aja nggak ada Ariesta datang—"

Dengan cepat Reza memotong ucapan Putu. "Ini bukan masalah karena kedatangan Ariesta. Tapi kita liat situasi. Percuma kalo dipaksa. Karena kita nggak akan menang dengan keadaan begini."

Fariz mengangguk. "Iya. Nggak peduli kalah atau menang. Yang penting, keselamatan Belati itu nomor satu," katanya. "Untung lo, Put, Rio udah balik. Coba kalo orangnya dengar bisa nggak liat matahari lagi lo besok."

Putu terkekeh. "Wah jangan dong. Kasihan ntar Mak sama Babeh gue. Nanti nggak ada bahan Bullyan di rumah lagi."

Seketika, semua yang ada di sana tertawa. Mencairkan suasana yang ada. Kemudian Leo beranjak dari tempat untuk menghampiri Adli yang sedari tadi diam. "Selamat kembali di Belati, Adli Fernandez," kata Leo seraya menepuk pundak cowok itu. Adli hanya balas tersenyum.

"Lo pada mending balik aja. Istirahat," kata Leo. "Kekalahan kita hari ini nggak perlu dipikirin."

Para anggota Belati mengangguk setuju untuk kemudian beranjak pergi dari tempat. Tapi sebelumnya, Andra sempat berkata dengan lantang dan tegas yang juga didukung oleh anggota Belati. Katanya, "Lo tenang aja, Bang. Hari ini kita boleh kalah. Tapi lain kali, kita pasti bisa ngancurin mereka."

Kemudian mereka semua meninggalkan markas. Bersama BARBEL mereka beriringan pergi dari sana. Membawa kecewa yang besar akibat kekalahan mereka.

***

Kadang, kesendirian adalah hal terbaik untuk melepas segala beban yang ada. Kadang, kesendirian adalah hal yang terbaik untuk menjadi penenang kala hati tengah dilanda oleh segala rasa sedih ataupun luka.

Semua ini terlalu sulit untuk Cahaya. Walau sebagian besar hatinya menolak untuk peduli dengan Pamungkas. Tapi Cahaya tahu bahwa hati kecilnya berkata lain. Bahwa hati kecilnya menolak keputusannya untuk tidak mempedulikan lelaki itu. Karena biar bagaimana pun juga. Lelaki itu adalah ayahnya.

Mungkin, kemarin dirinya dan Leo sama-sama tidak sadar dengan kehadiran mobil Pamungkas yang terparkir di pelataran rumahnya. Mengingat Leo ... membuat jantung Cahaya jadi berdisko ria.

Cahaya mendesah panjang sebelum memilih mengambil ponselnya di atas nakas. Cahaya mengernyitkan dahinya ketika banyak notifikasi panggilan yang masuk untuk kemudian menelepon balik nomor itu.

"Halo, Ta. Kenapa lo telepon gue semalam sampai tujuh kali?" tanya Cahaya to the point.

"Semalam Belati tawuran sama anak Black Gun dan Kapak Hitam." Kata Ariesta yang membuat Cahaya mendengus kesal. "Emangnya lo ke mana aja sih semalam gue telepon nggak diang—"

Belum juga Ariesta sempat menyelesaikan ucapannya, Cahaya sudah memutuskan sambungan telepon secara sepihak.
C

ahaya bangkit dari tempat untuk kemudian keluar dari kamarnya. Dengan langkah cepat Cahaya sudah berada di lantai bawah.

Imperfection : Trapped With Troublemakers✓ [Republish+Remake]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang