06- Heart

92.5K 7.1K 196
                                    

"Mencintai atau dicintai?"

-

"Axel, please, dateng ya, ke ulang tahun aku malam ini?"

Zega membuang nafas, berurusan dengan Ghia sangat membuang-buang tenaga dan waktu. Gadis itu memang merepotkan. Ia balas menyorot gadis bermanik hijau yang Zega tahu bahwa itu hanya softlens. Entah sudah berpuluh-puluh kali gadis itu mengatakan kalimat yang sama.

Kenapa dia sebodoh ini? Jawaban Zega selalu sama.

"Mau ya?" Ghia menautkan kedua tangannya didepan dada, membuat Zega melihat kuku panjangnya yang diwarnai hijau tosca bercorak loreng itu.

"Gak," kata Zega final, ia sudah bosan direcoki gadis ini agar datang ke ulang tahunnya. Ghia itu saingannya dikelas, gadis itu pandai tanpa perlu belajar keras seperti Jasmine, ia juga cantik dan ramah. Tapi ... Zega tak pernah menyukainya. Dia tak menyukai Ghia karena suatu alasan yang bahkan dirinya sendiri tak mengerti.

Dia merasa bahwa Ghia sebenarnya tak seperti yang terlihat.

"Axel, ah ..." Ghia cemberut, gadis berbandana coklat itu putus asa dan langsung kembali ke bangkunya. Zega melirik melalui ekor matanya dan melihat bahwa gadis itu sekarang tengah melipat kedua tangannya diatas meja dan menjadikannya bantal untuk kepalanya. Ia menghadap ke kanan, arah berlawanan dengan tempat duduk Zega.

Zega diam-diam merasa tak enak. Ia memang tak suka Ghia. Tapi ... Ia tak suka membuat perempuan sedih, karena Zega tak mau jika ada yang membuat Mama dan Adiknya sedih. Sulit untuk mengatakannya, tapi Zega benci melihat perempuan bersedih apalagi menangis.

Zega berjalan pelan menuju arah Ghia. Ia duduk di bangku depan meja perempuan itu dan memutarnya kebelakang. Membuat Ghia mengangkat wajahnya saat bunyi deritan bangku didepannya.

"Gue datang ke pesta ulang tahun lo." Zega berujar cepat. Kemudian segera meninggalkan Ghia disana dengan senyum lebar gadis itu.

***

"Lo bakal ke ulangtahun Ghia?" tanya Rio tak percaya, memandang Zega dengan raut binggung. Cuma Rio satu-satunya dikelas yang masih Zega ajak bicara, tapi mereka tak seakrab itu, mereka bahkan bukan teman. Mereka hanya berbicara kadang-kadang.

Zega hanya mengangguk lagi sambil meminum minuman berkaleng didepannya. Suasana dikantin sangat ramai, teriakan dan pekikan terdengar dimana-mana membuat Zega ingin segera pergi dari tempat ini.

"Kenapa lo mau?" tanya Rio lagi sambil mencemot baksonya.

"Penting?" balas Zega membuat Rio diam-diam menghembuskan nafas panjang.

"Serah deh, entar kalau mau kesana bareng aja." Zega hanya bergumam menjawab.

"Gue duluan," ujar Zega dibalas anggukan Rio, setelah kepergian Zega Rio langsung ke bangku teman-temannya.

Baru saja langkahnya melangkah keluar dari kantin, seseorang menghentikan langkahnya.

"Bisa ngomong sebentar?"

Zega mengangguk sedikit malas.

"Gue tahu lo gak suka sama Ghia. Tapi ... Gue mohon jangan buat dia sedih." Daffa mengalihkan pandangannya sebentar ke arah kantin dimana Ghia sedang duduk makan dengan Jasmine di meja tengah. "Gue gak bisa lihat dia sedih, karena, lo tahu kan, gue sayang sama dia."

Zega terkesiap sebentar, "maksud lo?"

Daffa menatap Zega tajam, sebelah tangannya bebas menghisap sepuntung rokok tanpa takut ketahuan guru BK. "Jangan pernah buat Ghia sedih, kalau lo gak mau berurusan sama gue," katanya lungas. Namun, terdengar seperti lelucuan ditelinga Zega.

Zega berdecih sesaat, "gue gak peduli."

"Lo cuma perlu inget satu hal." Daffa berhenti berkata sesaat, ia melihat reaksi datar yang ditunjukkan Zega.

"Suatu hari, lo akan bertemu dengan seseorang yang lo sayangi melebihi diri lo sendiri," katanya sambil melempar puntung rokok yang sudah habis ke halaman kantin, tanpa peduli bahwa orang lain sudah capek-capek membersikan. "Dan saat itu lo bakal ngerti." lanjutnya sambil menepuk bahu Zega.

Kemudian, Daffa segera berlalu dari sana. Zega bahkan tanpa sadar masih memperhatikan gerak-geriknya.

"Ghia!" panggil Daffa pada wanita itu, membuat Zega diam-diam mengamati interaksi mereka.

"Ih, Daffa! Jauh-jauh dari aku, kamu baru habis olahraga, bau keringat, bau rokok juga, tahu!" kata Ghia sambil menutup hidungnya dengan tangannya. Tapi, Daffa hanya terkekeh dan malah memeluk leher Ghia dengan satu tangannya, sedangkan satu tangannya lagi mengambil gelas juice Ghia diatas meja dan menyedotnya tanpa izin.

Tak perlu diungkapkan lagi bahwa Daffa si brandalan sekolah yang liar suka sama Ghia si pujaan seluruh sekolah, karena hanya dari perilakunya saja semua orang bisa tahu. Daffa yang nakal, dulu tidak peduli pada apapun disekelilingnya.

Sampai dihari dimana ia bertemu dengan gadis cantik berlesung pipi, bernama Ghia.

Namun, Zega menunduk. Dia tahu alasan Daffa menyukai Ghia, dan Zega merasa itu bukan cinta. Itu semua palsu. Daffa hanya memainkan drama.

***

Ghea [PROSES PENERBITAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang