"Are you happy?"
-
Ghea tak menyangka semuanya berubah runyam secepat ini. Sudah seminggu berlalu dan keadaan semakin berantakan. Sampai saat ini, belum ada korban yang ditemukan, karena diperkirakan pesawat meledak diudara sehingga tak menyisakan apa-apa selain bangkai pesawat.
Ghea duduk didalam kamar Ghia, menatap kaca disana. Begitu sedih, dia tak menyangka semuanya berubah secepat ini. Pesawat itu, memang pesawat yang ditumpangi Ghia dan Daniel. Ghea hanya diam, dia tak tahu bagaimana kondisi sekolah sekarang, dia tak pernah masuk sejak berita itu terdengar, dia cuma berdiam didalam kamar. Bahkan, kadang-kadang lupa memberikan Geze makan.
Sedangkan kedua orangtuanya, Ghea tak bisa menebak, Martin kebanyak pergi dan pulang hampir pagi dalam keadaan mabuk hampir setiap hari, lelaki itu paling terpukul karena dia yang paling ingin Ghia ke Jepang, sedangkan Anita hanya mengurung diri dikamar, namun Ghia selalu mendengar tangisannya.
Seharusnya, Ghea yang pergi, kalau Ghea yang pergi, semuanya nggak sehancur dan semenyedihkan ini.
Ghea memandang wajahnya dikaca. Lumayan mirip dengan Ghia, jika mereka berdandan sama, mungkin tak ada yang bisa membedakan.
Ghea membuang nafas panjang, dadanya sesak bukan main. Dia menangis, berpikir apa harus melakukannya?
Jika dia ... menyamar menjadi Ghia, mungkin semuanya bisa lebih baik. Mungkin mama tidak akan pulang menangis sepanjang waktu lagi, mungkin papa tidak akan pulang dalam keadaan mabuk seperti orang putus asa lagi. Mungkin ... mungkin semuanya lebih baik.
Ghea menutup pintu kamar Ghia, mengunci dari dalam. Gadis itu duduk didepan meja rias Ghia. Tangannya bergetar saat melepas ikatan rambutnya, Ghea menyisir rambut panjangnya, kesusahan sedikit, kemudian beralih lagi kedepan, dia membuka kacamatanya, dan dengan bantuan tutorial diponselnya, dia memasang softlens berwarna abu-abu kesukaan Ghia dimatanya yang seketika perih luar biasa. Sangat menggangu, Ghea ingin melepaskannya namun teringat tujuan awalnya.
Gadis itu mulai merias wajahnya, dia mengercap, merasa tak percaya ketika melihat pantulan dirinya dikaca. "Ghia?"
Kemudian Ghea menghembuskan nafas panjang, bergerak ke lemari Ghia, kemudian mendapati salah satu baju kesukaan gadis itu, dia menggunakannya dengan cepat, memakai high heels hitam Ghia yang membuat jalannya menjadi aneh dan pegal, namun gadis itu tetap mencoba.
Dia berdiri didepan kaca lagi. Memandang tampilan dirinya yang sekarang bener-bener mirip dengan Ghia tanpa kurang sedikitpun. "Ghia, maafin aku, seharusnya aku yang pergi, bukan kamu."
Ghea melangkah dengan terpincang-pincang, namun dia berusaha sebisa mungkin, langkah gadis itu membawanya menuju kamar kedua orangtuanya. Ghea mengetuknya dengan sedikit ketakutan. "Mama?"
Hanya hening yang membalas, tangan Ghea begerak membuka pintu kamar coklat itu. "Mama ... ini Ghia."
Anita yang sedang duduk dibawah tempat tidur sambil memeluk foto Ghia tersentak tak percaya, dia bangkit cepat dari sana. "Ghi—Ghia?" kemudian Anita memeluknya kencang, Ghea menahan air matanya yang siap tumpah, dia sudah tak pernah dipeluk oleh Anita dari umur lima tahun.
"Ghia, kamu kemana aja? Ini beneran kamu, kan? Kamu nggak tinggalin mama, kan? Kamu nggak pergi, kan? Kamu baik-baik saja, kan?"
Ghea kesusahan menjawab. "Ini Ghia, Ma. Maafin Ghia udah bohongin mama, karena Ghea yang gantiin posisi Ghia buat ikut pertukaran pelajar itu. Itu bukan Ghia, tapi Ghea. Ghia nggak mau tinggalin semuanya."
Anita melepas pelukannya. "Begitu lebih baik sayang, sekarang kita makan, ya? Mama mau kabarin papa dulu, habis ini kita shopping, ya?"
Ghea menunduk, teryata bener, seharusnya dia yang pergi. Bukan Ghia[]
***
A/n:
i don't know what to do¿
KAMU SEDANG MEMBACA
Ghea [PROSES PENERBITAN]
Teen Fiction❝Sangat sulit tumbuh dalam keluarga yang sempurna, saat kamu tak sempurna.❞ Kata siapa anak kembar itu sama? Nyatanya anak kembar juga memiliki banyak perbedaan; fisik, otak, bahkan kasih sayang. Sayangnya Ghea tak seperti Ghia yang cantik, yang pin...