"Tak butuh waktu singkat, untuk mengerti siapa kita sekarang."
-
Ghea sedang duduk dibangku panjang belakang sekolah sendirian, tangannya menggambar sebuah gambar abstrak di buku gambarnya dengan tenang. Hening, hanya suara angin yang berhembus ditangkap telinganya.
Sekarang jam pelajaran sudah dimulai, namun Ghea begitu malas untuk kembali ke kelas, menatap wajah temen-temennya yang akan menertawakannya, dan membullynya dengan banyak hal.
Lebih baik dia sendiri disini. Tenang, tanpa gangguan apa-apa. Walaupun belakang ini dia sering membolos, Ghea berharap dia tak mendapatkan surat panggilan orangtua.
Ghea terus mengambar disana dengan tenang, sampai seseorang datang dan duduk disampingnya.
Ghea mendongak, buru-buru menutup buku gambarnya. "Kenapa?"
Daffa tersenyum miring. "Nggak sih, cuma duduk bentar."
Ghea mengangguk, buru-buru membereskan barang-barangnya, berniat pergi. Namun, Daffa menahan tangannya. "Gue mau nanya."
"Tanya apa?" Ghea melepaskan cekalan Daffa dan memandangnya tanya.
"Lo ada hubungan apa ... sama Ghia?" pertanyaan Daffa membuat tubuh Ghea menegang, begitu terkejut sehingga dia terdiam sejenak.
"Nggak ada apa-apa," balas Ghea. Mengalihkan pandangannya ke arah lain, takut wajahnya tak menyakinkan.
"Gue lihat lo masuk rumahnya kemarin."
Ghea kali ini bener-bener terkejut, gengamanya pada buku gambarnya mengeras. "Aku punya urusan jadi kerumah Ghia, nggak bisa aku bilang. Aku pergi." Ghea bergegas meninggalkan Daffa sendirian dengan kerutan binggung. Daffa terkekeh, padahal dia sangat ingin mengetahui sesuatu tentang Ghia karena gadis itu baru saja memutuskan hubungan kontrak mereka.
Ghea melangkahkan kakinya cepat, segera berlalu dari sana untuk menuju perpustakaan. Ketika sampai, gadis itu duduk dibangku pojok dekat jendela, berniat melanjutkan gambarannya.
"Eh, lo udah tahu belum?" seorang gadis berambut bob yang duduk agak jauh didepan berbicara dengan keras kepada temennya yang duduk didepannya sampai Ghea ikutan mendengar.
"Tahu apa?" gadis itu angkat bicara, memandang temennya binggung dan melanjutkan memakan snack, padahal diperpustakaan hal itu sangat dilarang.
"Di Mading, udah ada nama yang keluar kepilih buat pertukaran pelajar ke Jepang."
Gadis berambut hitam itu langsung tersedak snacknya, dan batuk-batuk sejenak. "Siapa? Jangan bilang ..."
Gadis berambut bob mengangguk. "Seperti yang lo pikir."
"AXEL DAN GHIA!?"
"Brigitta, Alexa, kalau mau teriak keluar aja!" pustakawan yang duduk didepan menegur kedua gadis itu yang langsung saling senggol sebelum memutuskan pergi.
Sedangkan Ghea melamun. Pertukaran pelajar? Bel istirahat berbunyi, gadis itu buru-buru keluar dari perpustakaan dengan cepat.
Ghea hanya ingin bertemu Zega sekarang.
***
"Zega?" panggil Ghea ketika dia sampai di rooftop sekolah. Angin menderu kencang, menerbangkan helaian rambutnya yang hari ini digerai.
Kedua bahu Ghea menurun, ketika menyadari bahwa rooftop ini kosong. Dia tidak ada. Zega tidak ada disini.
Ghea melangkah mendekati pembatas rooftop, menaruh kedua tangannya disana dan memandang jauh ke depan dengan perasaan kosong.
Kenapa sesuatu dihatinya terasa begitu sakit. Ghea membiarkan angin menerbangkan helaian rambutnya. Gadis itu tetap memandang lurus kedepan.
"Ghea?"
Suara itu membuat Ghea berbalik dan tersentak, gadis itu buru-buru tersenyum. "Zega."
"Lo cariin gue?" tanya Zega, mendekat dan ikut memandang lurus kedepan dimana jalanan macet ibukota terpampang nyata.
"Maaf."
Zega melirik Ghea yang barusan mengucapakan permintaan maaf. "Untuk?"
"Udah lancang nyariin kamu." Zega tersenyum, jawaban Ghea begitu lucu.
"Kenapa cariin gue?"
Ghea menghembuskan nafasnya sejenak. Mencoba mengatur debaran dihatinya. "Kamu kepilih buat pertukaran pelajar sama Ghia?"
Zega mengangguk, biasa saja. "Iya."
"Satu semester di Jepang?" Ghea tak menyangka, suaranya akan bergetar. Ada apa dengan dirinya, gadis itu melarikan pandangannya lagi kedepan.
Zega mengangguk lagi. Hening, Ghea tak bisa memikirkan apa yang sedang Zega pikirkan. Tapi rasanya dia ingin menangis.
"Jaga diri lo." Zega berujar datar, namun Ghea merasakan begitu berdebar. Untuk detik berikutnya, lelaki itu mengusap puncak kepala Ghea membuat Ghea diam-diam menunduk. Dia tak boleh seperti ini terus. Dia juga harus menjauhi Zega. Mungkin satu semester ini, adalah waktu yang diberikan semesta untuk menghapus perasaannya.
"Aku pergi duluan," ujar Ghea namun Zega menahan tangannya.
"Apa?" tanya Ghea.
Zega memberikan sebuah buku kepadanya yang membuat Ghea rasanya ingin menangis. "Buat aku?" Ghea menerima buku karya Agatha Christie, yang belum sempat selesai dibacanya di atap rumah lama Zega.
"Bukan cuma itu." Zega tersenyum. "Gue mau ngomong sesuatu tapi kayaknya terlalu cepat. Lo mau tunggu sampai gue pulang dari Jepang?"
Ghea tersenyum kemudian mengangguk begitu saja.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Ghea [PROSES PENERBITAN]
Novela Juvenil❝Sangat sulit tumbuh dalam keluarga yang sempurna, saat kamu tak sempurna.❞ Kata siapa anak kembar itu sama? Nyatanya anak kembar juga memiliki banyak perbedaan; fisik, otak, bahkan kasih sayang. Sayangnya Ghea tak seperti Ghia yang cantik, yang pin...