"All we have is now."
-
"Kamu keterima pertukaran pelajar, Ghi?" Anita bertanya, disela makan malam keluarga mereka yang hening hanya ditemani aroma lilin dimeja makan.
"Iya, Ma. Gimana?" Ghia membalas sambil menyuapkan sesendok makanan ke mulutnya. Hanya ada dirinya dan Anita disana, belakangan ini Martin nampak aneh, sering tak ikut makan malam bersama mereka, atau family time lainya. Pria itu lebih sering di kantor, dengan alasan banyak pekerjaan.
"Papa ... belum pulang?" pertanyaan Ghia hanya dibalas angin. Anita meneruskan makanannya, karena tak tahu inggin menjawab apa.
"Mama nggak mau, kamu tolak aja, Mama nggak mau kamu ikut pertukaran pelajar, apalagi sampai satu semester. Enam bulan itu bukan waktu yang cepat, Ghia. Kalau kamu ada apa-apa disana gimana?"
Ghia tersentak. Mengeleng cepat. Disana. Bersama Axel, adalah mimpinya sejak lama, jika bukan Axel partnernya, mungkin sudah Ghia tolak. Tapi ini beda. "Enggak Ma, Ghia bisa urus diri."
Anita mengeleng. "Bisa urus diri? Apaan, Ghi? Kamu cuci baju kamu sendiri pakai mesin cuci aja nggak bisa, cuci piring makan kamu aja nggak bisa, gimana kamu disana?"
Ghia menunduk, menatap sisa makanannya di piring. Kemudian mendengus. "Ghia mau mandiri, Ma."
Anita tetap mengeleng. "Kalau kamu sakit-"
Ghia memotongnya cepat. "Ma, Ghia nggak selemah itu!"
Anita mendengus. "Tapi kamu manja, Ghi. Dengarin Mama, kalau kamu-"
Ghia membanting garpu dan sendok makannya sehingga membunyikan bunyi nyaring. "Kenapa Mama nggak percaya sama Ghia sih!?"
Anita tersentak, ketika Ghia berbalik dan pergi. Bukannya tak percaya, dia selalu yakin dengan kemampuan Ghia. Namun untuk mengurus diri, Anita tak yakin.
***
Ghea sedang berbaring di tempat tidurnya ketika dia mendengar suara tangisan samar-samar dari sebelah kamarnya ... kamar Ghia. Begitu lirih.
Gadis itu membuka pintu kamarnya, bergegas menuju pintu kamar Ghia. Mengetuknya pelan. "Ghia?" panggilnya, namun tak ada jawaban.
Ghea mendorong pintu kamar itu yang ternyata tak dikunci. "Ghia?" gadis itu menyelunsuri kamar itu yang nampak berantakan. Barang-barang berserakan dimana-mana, sepertinya Ghia baru saja menghancurkan kamarnya. Kebiasaannya dari dulu ketika marah, selalu melampiaskan pada seisi kamarnya.
Ghea mengetuk pintu kamar mandi, suara tangisan Ghia berasal dari sana. Tak lama hanya ada suara shower yang terdengar. "Ghia?"
"Ngapain lo masuk kamar gue! Keluar!" seruan Ghia keras, membuat Ghea tersentak.
"Kamu baik-baik?"
"PERGI!" Ghea terkejut, mengangguk dan buru-buru keluar dari kamar Ghia. Gadis itu kembali ke kamarnya, duduk diatas tempat tidurnya dengan perasaan bimbang.
Ponselnya bergetar, Ghia meraihnya dan membaca pesan masuk disana.
Tania: Ghea, lo dimana? Jalan-jalan yuk, gue punya uang lebih, gue traktir!
Ghea mengernyit, dan tersenyum mengetikan balasan dengan cepat.
Ghea: mauu, kamu dimana?
Tania: gue di halte dekat caffe, cepetan ya!!!
Ghea tersenyum, segera bersiap-siap setelah itu gadis itu meraih slin bag cokelatnya, berniat segera pergi.
Ghea terlonjak kaget ketika mendapati Ghia berdiri didepan pintu kamarnya dengan ekspresi kaku.
"Ghia?"
Ghia menghembuskan nafas panjang. Meraih tangan Ghea kasar dan menaruh sebuah kertas disana dengan sejumlah uang. Kemudian segera berlalu masuk kembali ke dalam kamarnya.
Ghea menunduk, memandang kertas ditangannya. Daftar list belanjaan Ghia. Sepertinya, untuk persiapan pertukaran pelajar.
"Sepatu, baju, tas, skincare, make up-" Ghea mengantungkan kalimatnya sambil mengeleng, melihat begitu banyak nama benda di list itu dia segera berlalu ketika Tania menelponnya lagi.
***
A/n: no words.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ghea [PROSES PENERBITAN]
Teen Fiction❝Sangat sulit tumbuh dalam keluarga yang sempurna, saat kamu tak sempurna.❞ Kata siapa anak kembar itu sama? Nyatanya anak kembar juga memiliki banyak perbedaan; fisik, otak, bahkan kasih sayang. Sayangnya Ghea tak seperti Ghia yang cantik, yang pin...