16- Rooftop

79.5K 6.2K 89
                                    

"Perbedaan ada untuk saling mengisi."

-

"Gue susul Ghia dulu," kata Daffa dibalas anggukan Ghea. Ghea diam sejenak berpikir apa yang baru saja dia lakukan.

Gadis itu kemudian tersentak saat menyadari tujuan awalnya kekantin. Ghea bergegas menuju penjual mie ayam dan memesan ulang karena tadi suaranya tak kedengaran, dan pesanannya otomatis tak di buat. Saat sudah selesai memesan, Ghea membayar dan segera menuju kelas dengan terburu-buru.

Plak.

Ivana membanting mangkok mie ayam itu kencang, membuat siraman kuah panas itu menghantam baju Ghea dengan gerakan cepat. Tubuhnya terasa panas, air mata sebentar lagi akan tumpah dari kelopak matanya. Bener-bener menyakitkan.

"Lo ngapain aja dikantin sialan! Lama banget, sekarang mood makan gue udah hilang!" Ivana bener-bener kesal, dia memandang Ghea tajam. Bener-bener kesal karena pergi begitu lama sampai perutnya kenyang makan angin.

Semua mata dikelas memandang Ghea kasihan, namun ada juga yang tertawa beberapa komplotan Ivana bahkan ikut memanasi suasana. Kepala gadis itu tertunduk, begitu menyedihkan untuk ditatap. Namun, tak ada disana yang mau mebantunya, itu sama saja memberikan diri mereka dengan gratis untuk korban bullying Ivana selanjutnya.

"Shit, nyebelin banget! Lo punya otak nggak sih? Goblok banget." lanjut Ivana kesal, memukul meja disampingnya kencang.

Ghea mengepalkan tangannya kesal, dia menatap Ivana sedikit berbeda. "Kalau aku nggak punya otak, aku nggak mungkin hidup. Lagian kenapa kamu nggak bisa sabar sedikit? Kantin ramai dan nggak mungkin semuanya berjalan sesuai keinginan kamu." balas Ghea, begitu bodoh, ketika dipikir lagi, tapi kalimat itu sontak keluar dari mulutnya.

Ivana yang mendengar itu terkejut. Dia bangkit dari bangkunya dan berdiri didepan Ghea murka, tangannya menunjuk wajah Ghea. "Lo gak tahu siapa gue? Gue anak dari pemilik sekolah ini! Bukan kayak lo yang asal usulnya gak jelas, anjing! Setiap ditanya tentang keluarganya aja belagu nangis! Atau keluarga lo keluarga buronan? Pembunuh mungkin? Kasihan banget hidup lo-"

Plak.

Ivana terkejut dengan tamparan keras yang menghantam pipinya. Ia bergegas mendongak kesamping memandang siapa pelakunya.

Seorang gadis berdiri disana dengan tangan melayang di udara, kemudian dia menurunkannya dengan gerakan lambat. "Maaf, tangan gue nggak sengaja terbang."

"Brengsek, mau mati lo—" ucapan Ivana terpotong karena gadis itu sudah duluan bergegas pergi dengan membawa tangan Ghea.

Ghea menggeleng tak percaya. "Tania, kamu kok bisa disini?" tanya gadis itu binggung. Kemudian memandang tampilan Tania yang berbeda.

"Oh, tadi gue temenin temen gue yang OSIS kesini, ada acara. Lo kenapa, bisa segitunya dibully mereka?" tanya Tania ketika dirinya dan Ghea sudah berada di kamar mandi.

"Baju lo basah," kata Tania membuka jeket hitamnya dan memberikan kepada Ghea.

Ghea memakainya, sedangkan Tania fokus dengan ponselnya yang berdering.

"Ghea ini penting, kita ketemu di caffe aja, ya baru lanjutin, gue harus pergi sekarang!"

"Tan-" ucapan Ghea terpotong karena Tania sudah duluan menghilang. Ghea tersenyum, semoga Tania selalu bahagia. Ternyata masih banyak orang baik diantara banyak orang jahat di kehidupannya.

***

Ghea naik ke atap sekolah dengan perasaan hampa. Dia butuh banyak waktu untuk sendiri sekarang. Jam pelajaran sudah dimulai, namun gadis itu tak peduli. Yang dia butuhkan sekarang hanya ruang dan waktu untuk sendiri. Dia juga masih belum berani ke kelas setelah peristiwa tadi, yang ada dia malah semakin diganggu Ivana.

"Kenapa orang-orang jahat banget, sih?" tanya Ghea, entah pada siapa. Gadis itu memandang langit biru setelah duduk dipojok rooftop.

"Lo kenapa?" Ghea terlonjak kaget, setahunya tadi tak ada orang disini. Namun, kenapa tiba-tibalelaki ini bisa berada disini?

"Zega," ujar Ghea pelan.

"Hm?" Zega menepuk box kayu disampingnya, membuat Ghea mendekat dan duduk disana, disampingnya.

Hening mencekam cukup lama sebelum Ghea kembali berbicara, karena sepertinya Zega akan tetap diam. Seseorang harus menghentikan kebisuan ini. Mungkin laki-laki ini juga tipe pendengar sepertinya.

"Sulit dijelaskan dengan kata-kata, semua orang terlihat begitu pintar dalam menyakiti, ya?" ujar Ghea tiba-tiba, namun dia tersenyum, seolah semua baik-baik.

"Masih banyak orang baik di dunia ini, jika lo nggak menemukannya jadilah salah satunya." Zega membalas dengan jawaban yang membuat Ghea tersentak dan mengangguk. Dia mengingat Tania dan beberapa orang baik di hidupnya.

"Lo nggak ke kelas?" tanya Zega.

"I have a little problem there," jawab Ghea masih tersenyum.

Zega menatap Ghea dalam. "Lo tahu awan kenapa selalu bergerak?"

"Karena bumi berputar?" tebak Ghea asal.

"Menurut gue, awan yang bergerak ibarat kehidupan. Nggak selamanya kita selalu berada di titik yang sama. Bisa jadi lebih baik, bisa jadi tidak."

Ghea memandang Zega dalam. Ucapannya meninggalkan pemahaman baru, Ghea merasa hatinya menghangat. Dia membalas pandangan Zega. Dan kemudian menyadari satu hal; bahwa dia jatuh cinta pada pikiran dan pendapat atau semua hal yang keluar dari mulut Zega. Entah sejak kapan; menjadi favoritnya.

***

Ghea [PROSES PENERBITAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang