25- Not important

70.2K 5.6K 373
                                    

"Lo nggak sepenting itu."

-

"Aw!" Ghea meringis ketika Ivana menarik tubuhnya kencang sehingga membentur tembok. Rini dan Ica sontak berdiri disamping Ivana, memandang Ghea lucu.

"Tugas matematika gue mana?!" Ivana berteriak, membuat Ghea tahu salah apa lagi dia sekarang.

Rini memutar-mutar ujung rambutnya. "Nggak dia kerjain kayaknya, Na. Palingan alasan lupa, padahal pasti dia nggak mau, sengaja biar lo diamuk Bu Pur."

Ghea menunduk, dia bener-bener lupa karena waktunya begitu terkuras beberapa hari belakangan. Dia tak mungkin harus mengerjakan semua tugas Ivana terus. Memangnya gadis itu siapa? Ghea menunduk semakin dalam.

Ivana menarik rambutnya kencang, membuat Ghea sontak mendongak menatap wajahnya yang sangat marah.

"Cuma kerjain tugas gue! Bukan gue suruh lo ngapain!? Kenapa nggak lo kerjain?!" Ivana melepaskan cengkraman tangannya membuat tubuh Ghea oleng, gadis itu terjatuh di lantai kelas yang dingin. Matanya berair.

Ivana meraih botol minum diatas meja dan menyiraminya. Ghea mengercap, menghapus air matanya kasar. Dia bangkit dari duduknya dilantai dan berlalu keluar kelas dengan tampilan acak-acakan, tak peduli dengan bel masuk yang berbunyi.

Ghea memeluk lututnya erat, bersembunyi di atas rooftop sekolah dengan air mata mengalir. Dia tak mungkin selalu begini. Dia harus bergerak, agar orang-orang tak semakin menyakitinya.

Gadis itu sesenggukan. Harus seberapa sakitnya dia baru orang-orang berhenti menyakitinya?

***

Ghia mengeleng, meremas kertas ditangannya kuat. Air mata mengalir di pipinya. Bener-bener tak menyangka. Dia melirik lagi lelaki yang duduk disampingnya.

"Kamu serius?"

Lelaki itu menoleh padanya dan sedikit tersentak mendapatinya menangis. Namun, dia mengangguk. "Gue batalin ikut program pertukaran pelajar, kebetulan nilai Daniel memindai, dia bisa gantiin posisi gue." kemudian tatapannya kembali ke arah kepala sekolah didepan.

"Kamu udah pikirin baik-baik Axel? Ini satu kesempatan emas, kamu bisa belajar banyak hal." kepala sekolah mereka angkat bicara, bener-bener tak menyangka Axelle Zega akan melakukan hal ini.

Zega diam sebentar, namun setalah itu dia mengangguk. "Udah saya pikirkan baik-baik pak."

Kepala sekolah mereka mengangguk. "Kamu Ghia?"

Ghia menyeka air matanya kasar. Ini aneh, kenapa dia menangis apalagi dihadapan kepala sekolah seperti ini? Kenapa dia begitu bodoh melakukan hal konyol karena keputusan Axelle Zega barusan. "Saya pikir-pikir lagi, pak." suara Ghia mengecil, dia rasanya ingin menangis sekencang-kencangnya. Ini salah satu mimpinya, mengikuti pertukaran pelajar, sekolah baru, pembelajaran berbeda dan pastinya lebih seru, banyak hal baru, apalagi ini ke Jepang, salah satu negara favoritnya, namun semua harapannya menjadi lebih pekat tanpa Axel.

"Saya harap kamu tetap," ujar kepala sekolah mereka memandang Ghia penuh harap.

Ghia menunduk. Memejamkan matanya sesaat. Kemudian segera keluar dari ruang kepala sekolah setelah pamit.

Tubuh Zega sudah jauh didepannya, Ghia memandang lelaki itu dari belakang. Dia selalu jauh, begitu susah direngkuh, bahkan ketika semesta mengizinkan mereka bersama, lelaki itu selalu bisa meruntuhkannya. Dia begitu tak ingin bersama Ghia.

"Axel!" Ghia berteriak memanggil, tak peduli suaranya yang mengelegar sehingga kelas didekatnya sontak meliriknya, bahkan guru dalam kelas ikut menoleh.

Ghia berlari cepat menuju Zega yang berhenti. Dia membuang nafas panjang sejenak. "Segitu nggak sukanya kamu sama aku sampai batalin student exchange-nya?"

Zega mengernyit, memandang Ghia yang begitu membingungkan dengan ucapannya barusan. "Kenapa lo berpikir karena 'lo'?"

Ghia tersentak kembali. "Karena aku ... karena itu yang aku pikirkan."

Zega menghembuskan nafas panjang. "Lo nggak sepenting itu." kemudian meninggalkan Ghia sendiri di koridor yang sepi bertepatan dengan hati gadis itu yang terasa remuk.

***

A/n:





Can we play the card now?

Ghea [PROSES PENERBITAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang