13- Big mistake

85K 6.5K 138
                                    

"Menjadi kuat adalah pilihan bukan takdir."

-

Ghea terkesiap dengan Zega yang tiba-tiba tersadar namun yang membuat dia lebih kaget adalah ucapan laki-laki itu sehingga dia mengalihkan pandangannya sebentar. "Aku bisa pulang sendiri, naik sepeda."

Zega mengeleng, "emang keselamatan lo terjamin?" tanyanya terdengar begitu perhatian sehingga membuat sesuatu didada Ghea terasa hangat, pertama kalinya ada yang menanyakan keselamatannya.

Ghea menganguk cepat. "Mungkin kamu gak tahu, tapi ... aku udah sering kesini kok, pernah waktu malam-malam juga," katanya menolak. Ghea hanya tak ingin masalah baru datang. Apalagi dia ... Axelle Zega.

Zega mengeleng, rautnya serius memandang Ghea dalam. "Tapi kali ini kan situasinya beda."

"Beda?" tanya Ghea tak mengerti.

"Kan ada gue, kenapa lo masih mau pulang sendiri?" balas Zega, bener-bener telak, sehingga Ghea tak bisa berkutik.

Lidah Ghea terasa keluh, bahkan untuk membalas kalimat Zega barusan. Ada rasa hangat yang perlahan-lahan menjalar kedalam ruang kosong dihatinya. Kenapa semua senyaman ini?

Melihat Ghea hanya diam membuat Zega kembali angkat suara. "Ayo," katanya mengajak, Ghea menghembuskan nafas sejenak, tak ada pilihan lagi dan memutuskan bangkit mengikuti Zega keluar dari rumah ini.

Ghea tersenyum sejenak. Memandang punggung Zega didepannya.

You stole my heart, but I'll let you to keep it.

***

"Rumah lo dimana?" tanya Zega saat keduanya sudah didalam mobil. Sedangkan Ghea hanya diam memikirkan kebohongan lain yang ada di kepalanya. Tidak mungkin jika dia bilang yang sebenarnya, itu justru akan membawa masalah lebih besar.

Setelah menimbang-nimbang cukup lama, akhirnya Ghea minta di antarkan didepan sebuah minimarket, katanya rumahnya tepat dibelakang minimarket tersebut. Sedangkan Zega hanya mengangguk nampak tak curiga.

"Itu rumahnya Ghia, kan?" tanya Zega saat mobilnya berhenti didepan minimarket, ia masih ingat betul bahwa waktu itu dia datang kepesta gadis itu disana.

Ghea mengikuti arah pandang Zega, menatap rumah mewah didepan minimarket itu. "Iya, rumahnya Ghia." rumahnya juga.

Zega mengangguk, kemudian menatap Ghea dalam setelah mengingat malam itu. "Gue inget, lo yang waktu itu ketemu sama gue di taman belakang rumahnya, kan? Waktu pesta."

Ghea tersentak, tak menyangka Zega mengingatnya. "Iya, itu aku, aku juga diundang, soalnya aku-aku, temen main-nya waktu kecil, jadi undangan aku gak dikasih disekolah, tapi dirumah." Wtf, Ghea, kebohongan aneh macam apa itu?

Zega menganguk tak curiga. Setahunya Ghia memang ramah dan berteman dengan siapa saja. Tidak seperti, Jasmine yang mengenal sistem 'kasta' dan hanya ingin berteman dengan orang-orang sederajatnya. Walaupun ternyata semua tidak seperti yang terlihat.

Ghea yang melihat Zega hanya diam memutuskan untuk segera turun dari mobil. "Aku pergi dulu, makasih."

Zega mengangguk, tersenyum dan terus memandang arah pergi Ghea dengan sesuatu yang tak biasa.

Ghea mengigit bibirnya gelisah. Dia meneruskan jalannya karena tak mendengar suara mobil Zega pergi, sepertinya lelaki itu menunggunya hilang dari pandangan. Ghea menyelunsuri setapak belakang minimarket yang sepi, hanya ada beberapa rumah. Dan tidak mungkin, dia masuk ke salah satu rumah yang jelas-jelas tak dikenalinya. Itu adalah hal konyol, dia pasti dikira maling.

Setelah menunggu beberapa lama Ghea bergegas kembali kedepan minimarket dan melihat bahwa mobil Zega sudah melaju pergi. Gadis itu membuang nafas panjang, hampir saja tadi dia dia digigit anjing karena bersembunyi didepan salah satu rumah.

Perlahan-lahan gadis itu mendongak, berjalan pelan menuju rumah mewah yang terletak didepan minimarket. Ghea membuka pagarnya pelan, pak Harto-yang sedang berjaga di pos satpam hanya menatap Ghea sambil tersenyum kecil.

Ghea balas tersenyum. "Acaranya udah selesai, Pak?"

Pak Harto tersenyum, namun kali ini sedikit sedih. "Acaranya batal, non. Ditunda minggu depan."

Ghea tersentak, kemudian mengangguk. Bergegas masuk dalam rumah dengan perasaan sedih. Perutnya berbunyi, dan dia tersadar belum makan sejak siang. Bener-bener menyedihkan.

Tangan Ghea terulur untuk membuka pintu tapi pintu itu sendiri yang terbuka duluan bertepatan dengan sebuah tangan yang melayang ke pipinya, kakinya melemas, tak mampu menopang berat tubuhnya yang rasanya ingin tumbang, tapi Ghea memaksakan, dia harus selalu kuat, sedangkan pipinya kian berdenyut. Namun, gadis itu mendongak, menatap Ghia didepannya dengan masker charcoal diwajahnya sedang memandangnya tajam.

"Gue tahu tadi itu mobil siapa. Lo pulang bareng Axel, kan?" tanya Ghia ketus, matanya memancarkan emosi yang tak bisa dibendung lagi. Walaupun Ghea merasakan kepalanya memusing, namun ucapan Ghia tetap terdengar nyata dan lantang.

***

Ghea [PROSES PENERBITAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang