30- Hope

65.6K 4.9K 82
                                    

"Mind full of unsaid thoughts, too tired to explain."

-

"Okay, jadi kita mau membuat kelompok, satu kelompok dua-dua orang, ya," suara Bu Rista mengema didepan.

"Kita berdua ya, Ghi? Lo kan tahu gue nggak ngerti apa-apa soal pelejaran," ujar Jasmine mendadak. Ghea menunduk, dia tak sepintar Ghia. Sepertinya dia harus belajar banyak kedepannya, apalagi selama dua tahun ini, dia peminatan IPS, bukan IPA.

"Kelompoknya acak, em, Ghia sama Axel-" Ghea rasanya mau pingsan sekarang, perutnya bergelora tak enak.

"Kok pintar sama pintar, Bu?" protes Jasmine kesal, karena dia mendapat temen kelompok yang sama malasnya-Daffa.

"Terserah ibu dong," Bu Rista membalas yang membuat Jasmine semakin kesal.

"Ck, lo senang banget, kan?" ujar Jasmine mendadak.

Ghea otomatis mengeleng. "Bisa pindah nggak?"

"Hah?" Jasmine bahkan termundur kaget dengan balasan Ghea ditambah wajahnya yang memelas. Sejak kapan Ghia menolak Axel?

"Ayo, ayo, cepat duduk ke kelompoknya masing-masing."

Ghea menghembuskan nafas panjang. Dia bergegas duduk disamping Axel, debaran itu kian menggila.

"Gue kerjain nomor satu sampai lima, lo lima sampai sepuluh, kayak biasanya kalau kita sekelompok." Axel berujar datar, dan mulai menulis dibuku depannya.

Ghea menunduk samar, memperhatikan angka-angka yang berjejer di soal. Gila, ini fisika, dia tak mengerti sama sekali. Bagaimana cara mengerjakannya? Ottoke ottoke!?

"Gue udah," suara itu datang dari Axel, Ghea memandang mata hitamnya dan langsung menunduk, membuat lelaki itu mengernyit samar.

"Punya lo?"

Ghea tak menjawab.

"Kenapa nggak lo kerjain?" tanya Axel binggung, meraih buku Ghea dan mengerjakan.

Ghea menunduk, "Zega-" what the—!? Ghea buru-buru melihat lelaki itu, sepertinya dia tak mendengarnya. "Axel, aku ..."

"Apa?"

"Maaf." Zega mengernyit, mengangkat wajahnya dan saat itu Ghea langsung menunduk lagi.

"Lo bukan Ghia?" pertanyaan Zega membuat Ghea otomatis menatapnya.

"Kenapa?"

"Pertama, Ghia nggak pernah nunduk kalau ditatap sama gue, kedua, gue ngerasa lo bukan Ghia."

Ghea mengeleng. "Semuanya bisa berubah." kemudian, gadis itu menunduk lagi, takut sekali dengan tatapan Zega.

"Lo justru mirip 'orang lain." Zega berujar, namun pandangannya tetap pada buku didepannya, mengerjakan dalam diam.

***

"Pulang sama gue."

Ghea tersentak, memandang lelaki didepannya ... takut. "Nggak mau."

"Aneh banget sih, Ghi?" lelaki itu, Daffa mengernyit, ketika gadis didepannya seperti begitu takut kepadanya.

Ghea mengeleng cepat, buru-buru memakai tasnya ke punggung dan berlari cepat keluar dari kelas. Semua orang disana terkejut dengan tingkahnya.

Zega mengernyit samar. Dia memang bukan Ghia.

Ghea berdiri didepan gerbang sekolah dalam diam, dia binggung harus pulang dengan apa sekarang. Kalau dia menahan angkot, bisa-bisa, semua orang memandangnya lebih aneh lagi. Ghia tak pernah naik angkot.

Ghea meraih ponselnya yang berbunyi, memandang benda pink itu, warnanya sangat tak disuka Ghea, namun kemarin Anita membelikannya ponsel baru itu dan berkata. 'bagus nggak ponselnya, sayang? Warna kesukaan kamu, loh.'

"Non? Saya diseberang jalan, mau saya kesana apa-" pandangan Ghea melirik mobil mang Ujang dipinggir jalan.

"Aku kesana aja, mang." kemudian Ghea melanggar jalan dengan cepat, kemudian masuk ke mobil itu. Mang Ujang tersenyum sekilas.

Ghea menunduk, menurunkan kaca mobil dan memandang satu titik. Zega sedang mengeluarkan motornya dari parkiran.

Kenapa serumit ini? Kenapa Ghea tidak ditakdirkan untuk bisa bersama dengannya?

Adakah yang bisa mencintai dirinya sendiri? Bukan seperti ini, bukan. Dimana orang-orang mencintainya hanya karena dia; Ghia. Ghea ingin ada yang menerimanya apa adanya.

Namun, itu cuma mimpi. Dasarnya, dia selalu menjadi pilihan kedua jika dibandingkan dengan Ghia.

Tapi, salahkah berharap jika Zega tak seperti yang lainya?

***

A/n:

I feel love.

Ghea [PROSES PENERBITAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang