01- Axelle Zega

165K 9.9K 324
                                    

"Bumi ini, hanya diisi oleh orang-orang penghianat."

-

Zega menghentikan aktivitas makan-nya, saat seseorang duduk didepannya. Lelaki itu mengangkat kepalanya, memandang papahnya dengan sorot bertanya namun juga didominasi dengan sorot tak suka.

"Sekolah kamu gimana?"

Klasik. Pertanyaan yang menurut Zega hanya basa-basi belaka. Kenapa tidak ada pertanyaan yang lebih baik sedikit dibanding pertanyaan yang sudah seperti topik umum diantara mereka itu.

"Biasa," sahut Zega tak peduli.

Matthew—papa Zega menghela nafas panjang, kemudian memandang Zega dengan tatapan hangat yang justru membuat Zega bertambah muak. "Kamu masih marah sama papa?"

Selalu. Namun, ucapan itu tak akan pernah terlontar. Zega malas untuk berbicara lama-lama dengan papahnya yang sekarang menjelma menjadi orang paling dibencinya.

"Kapan kamu mau mengerti, Axel? Semua ini demi kepentingan kita bersama. Kalau papa tidak bisa lagi bersama mama kamu—"

"Saya nggak minta penjelasan, semuanya sama saja, nggak mengubah apa-apa, terutama fakta 'itu'." Zega memotong, pembicaraan itu selalu terasa sensitif baginya, tapi entah mengapa yang melakukannya justru baik-baik saja, seolah semua kesalahan yang dia lakukan adalah bukan apa-apa.

Zega memejamkan matanya sejenak, mereda rasa amarah di dadanya yang kian membara. Detik berikutnya, lelaki itu bangkit dari meja makan dan berlalu.

"Axelle Zega, mau kemana kamu?" Matthew bertanya. Bagaimana mereka harus menyelesaikannya sekarang. Tetapi jika Zega selalu menghindar, rasanya percuma.

"Apa peduli anda?" tanya Zega, menekan kalimat terakhirnya. Anda, satu kata yang membuktikan kalau Matthew bukan siapa-siapanya lagi.

"Papa belum selesai ngomong—"

"Bukanya yang selalu Papa ngomongin nggak jauh-jauh, dari perceraian?" Zega melirik bosan, saat seorang wanita berpakaian seksi masuk dan langsung mengecup pipi Matthew. Bener-bener menjijikkan. Zega tak pernah bisa mengerti dengan pikiran dua orang didepannya itu.

"Oh, ada Axel?" tanyanya lebih tepatnya pura-pura bertanya. Dari awal dia melangkah masuk saja mereka sudah bertukar pandang.

Zega terkekeh sinis, kemudian menatap papahnya, dan wanita disamping papahnya dengan sorot meremehkan. "So..., kapan kalian nikah?"

"Tutup mulut kamu! Papa nggak ngajarin kamu kurang ajar—"

Zega memotong ucapan Papahnya lagi. "Anda nggak pernah ngajarin saya apa-apa, dan saya juga berpikir tidak ada yang perlu ditiru dari anda."

Papahnya mengeram marah. Pembicaraannya dengan Axelle Zega selalu berakhir seperti ini. Anak laki-laki pertamanya itu bener-bener sudah tak ingin berhubungan lagi dengannya.

"Axel, kamu bener-bener benci sama papa?" akhirnya kalimat tersebut meluncur sebelum Zega benar-benar menghilang dari pandangan.

Zega berhenti sejenak di dekat pintu, tanpa berbalik memandang papahnya dia tersenyum miris. Tak menyangka papa masih menanyakan pertanyaan yang mungkin dia sendiri sudah tahu jawabannya.

Untuk sejenak, Zega memikirkan kepingan-kepingan, kenapa dia sangat membenci papahnya; berselingkuh dengan sekretarisnya, menghancurkan keluarga mereka, membuat mama selalu menangis, membuat Clea murung, membuatnya kehilangan harapan pada laki-laki itu, dan terakhir bercerai dengan mama. Zega menghilangkan kilas balik dari pikirannya.

"Lebih dari benci," sahut Zega dingin tanpa berbalik. "Dan, tolong jangan pernah munculin wajah kalian didepan saya lagi. Saya bener-bener muak. Berhenti datang kesini, kerumah ini, karena anda bukan siapa-siapa disini lagi. Tolong pergi sekarang, sebelum saya manggil satpam." lanjutnya kemudian kembali melangkah keluar dari ruang makan. Hatinya sedikit terasa pedih mengusir papa, namun terasa lebih perih ketika laki-laki itu berani datang kesini bersama

selingkuhannya, tanpa memperdulikan perasaan mereka semua; terutama mama.

***

Zega melangkah menaiki tangga, kemudian berhenti didepan pintu berwarna hitam, memandangnya lama sebelum membukanya dengan perlahan.

Didalamnya gelap gulita, lelaki itu menyalahkan saklar lampu dan mendapati seorang wanita yang paling disayanginya duduk diam menghadap jendela dengan pandangan kosong. Dari jendela kaca itu, Zega dapat melihat mobil papahnya yang melaju pergi meninggalkan pekarangan rumah.

Entah sudah berapa banyak kali papa membuat mama sakit.

Bahkan, sinar lampu tak mengalihkan pandangannya sama sekali. Zega melangkah mendekat, penampilan Mamanya acak-acakan. Zega paham, bahwa Mama baru saja menangis-lagi. Dan, fakta itu membuatnya semakin merasa hancur.

"Mama?"

Diana berbalik, menatap putranya dengan senyuman, dan langsung mengalihkan pandangannya dari jendela. "Zega..." ucapnya lembut. Hati Zega menghangat, hanya orang-orang yang ia sayang saja yang boleh memangilnya Zega. Contohnya, Mamanya dan adik perempuannya—Clea. Dulu, mungkin papahnya juga. Tapi, semuanya sudah berubah. Zega juga tak pernah mendengar Matthew memangilnya seperti itu lagi, mungkin dia cukup malu dengan semua yang dilakukannya. Dan juga tak menganggap dia pantas memanggil Axel dengan 'Zega' lagi.

"Kamu nggak akan tinggalin mama, kan?" Zega mengangguk. Pasti.

Zega bergerak mendekat. Pemuda itu duduk disamping mamanya, menghapus air mata yang mengalir di pipi wanita itu.

"Mama baik-baik, kan?" tanya Zega pelan, apalagi dengan keberadaan surat perceraian ditangan wanita itu yang sudah kusam, dan fakta bahwa mamanya sempat melihat kepergian papa lewat jendela.

Diana mengangguk. "Lebih baik dari sebelumnya." jawabnya sambil melirik keluar kaca jendela lagi.

"Cuma cowok lemah yang nyakitin cewek." Zega berhenti berucap sejenak. "Dan ... Zega gak mau jadi salah satu cowok lemah itu, ma."

Diana tersenyum membalas, dia mengusap puncak kepala Zega. "Masih nggak percaya, jagoan kecil mama sudah besar."

Ghea [PROSES PENERBITAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang