14- Ghia

82.4K 6.2K 77
                                    

"Jadilah baik, meskipun kau tak diperlukan baik."

-

Ghea terdiam mendengar ucapan Ghia barusan. Ia menatap kembaranya yang berbeda seratus delapan puluh derajat dengannya. Lalu gadis itu bergerak sedikit gelisah, karena tak tahu harus membalas apa. Dari gerakan tubuh Ghea yang menunjukkan kegelisahan membuat Ghia menepuk kedua tangannya sehingga menimbulkan bunyi, sambil bergumam 'wow'.

Mata tajam beriris kelabu itu menatap Ghea sengit. "Lo serius mau main-main sama gue?" tanyanya dingin dan penuh perhitungan.

Untuk sekejap Ghea lupa berkata-kata, hingga sebuah kalimat lagi-lagi menyandarkannya. "Jawab lo!"

"Eng-enggak Ghia, ak-aku-"

"Bodoh!" desis Ghia sinis memotong ucapan Ghea. Ia melipat kedua tangannya didepan dada kemudian menyorot Ghea lagi, dengan pandangan lebih tajam. "Gimana ceritanya lo bisa ketemu sama Axel, bahkan diantar pulang?"

Ghea menghembuskan nafas panjang. "Aku gak sengaja ketemu sama dia di lapangan basket yang sering aku kunjungi dan ternyata itu miliknya, karena udah malem dia mau nganter aku pulang."

Ghia mengernyit, baru saja ia ingin melanjutkan kalimatnya sebuah suara menginterupsi keduanya.

"Ngapain kamu ngomong sama dia Ghia?"

Ghia berbalik. "Ah, Mama," katanya sambil memandang Anita dengan tatapan berubah lembut.

"Ayo makan malam, sayang." Anita membalas, mengulurkan tangannya pada Ghia, terlalu malas bahkan untuk melihat Ghea saja.

Ghia menganguk, menyambut uluran tangan Anita. Sebelumnya, dia menatap Ghea sinis, sambil berbisik penuh penekanan. "Urusan kita belum selesai, sehabis gue makan malem, lo temuiin gue di taman belakang."

***

Zega menguap lebar. Ia mengambil sepiring puding coklat yang terletak di kulkas dan membawanya ke meja makan. Zega duduk menatap sepiring kecil puding itu, ada note diatasnya.

'Ini buatan Lea loh, kak. Dimakan ya? Ada dua, satu buat kakak, satu buat mama.'

Zega tersenyum dan langsung mengambil sendok kecil disamping puding tersebut dan memotongnya, kemudian mencemoohnya. Matanya membulat sempurna saat rasa coklat itu lumer di mulutnya. Sangat enak! Clea memang pandai masak.

Setelah selesai memakannya. Zega bergegas membawa piringnya ke westafel dan mencucinya, ia tak ingin lebih merepotkan Bi Ebi pada hal-hal kecil seperti ini.

Saat membuka kulkas lagi, untuk mengambil sekaleng minuman bersoda, Zega mengulum senyum kecil, saat melihat tak ada lagi puding dikulkas yang artinya ... mamanya sudah memakannya. Itu artinya, mamanya sudah memaafkan Clea.

Tangan Zega bergegas mengambil cocacola dan meneguknya sampai habis. Kemudian melirik jam di pojok dapur yang sudah menunjukan pukul dua belas malam.

Zega bergegas kembali keatas setelah membuang sekaleng kosong cocacola ke tempat sampah. Langkahnya terhenti sebelum masuk kamarnya saat melihat kamar Clea gelap, Zega sangat tahu bahwa adiknya itu tak suka kegelapan. Bahkan, jika listrik padam mendadak, Clea akan berteriak histeris. Adiknya mengidap nyctophobia atau ketakutan akan kegelapan.

Lelaki itu mengetuk pintu kamar itu, namun tak ada jawaban hanya ada kesunyian yang menyambut dalam gelapnya malam.

Zega mendorong pintu tersebut pelan, pintu itu berderit pelan dan terbuka lebar, kernyitan di kening Zega semakin berlipat saat tahu bahwa pintunya tak dikunci, Clea juga ... selalu mengunci pintu kamarnya.

Zega menekan saklar lampu disamping pintu, seisi ruangan langsung terang, tapi Clea tak ada dimana-mana. Zega masuk memeriksa seisi ruangan termasuk kamar mandi tapi kosong.

Zega bergegas keluar, lelaki itu mengetuk pintu kamar mamanya pelan. Tak ada jawaban, Zega membukanya. Dadanya menghangat saat melihat ternyata dua wanita kesayangannya itu sedang tidur bersama sambil berpelukan.

"Good night," kata Zega sambil menutup kembali pintu kamar berwarna hitam itu dan bergegas kembali ke kamarnya dengan perasaan hangat.

***

Ghea [PROSES PENERBITAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang