Aku harus merelakan mu. Jika ini yang terbaik untukmu, aku bisa apa? Biarkan rindu yang akan menjadi temanku, lagi.
•••
Sudah dua jam Giva dan Gio menunggu di depan ruang IGD, namun tidak ada tanda tanda dokter ingin keluar dari ruangan itu.
Giva tidak tenang sekarang, pikirannya kalut, air matanya masih turun walaupun sedikit demi sedikit. Dia mondar mandir tidak jelas dari tadi, membuat Gio pusing melihatnya.
"Duduk, Giv. Capek." Ucap Gio membuat Giva menoleh kearahnya.
Giva pun menuruti omongan Gio, dia duduk disamping Gio. Tetapi tetap saja, dia sangat cemas sekarang.
Gio menepuk bahu Giva dan tersenyum ke arahnya.
"Lo nggak usah khawatir, dokter didalam lagi berusaha, kita serahin semuanya sama yang diatas."
Giva menghela nafasnya panjang, benar apa yang dikatakan Gio, dokter didalam lagi berusaha. Giva tersenyum kepada Gio sekilas.
Sampai akhirnya teman teman Gio dan Giva pun datang ke rumah sakit itu, sesuai dengan apa yang mereka katakan.
"Gimana keadaan Adit?" Tanya Marsell khawatir dan hanya dibalas gelengan kepala oleh Giva dan Gio.
"Lo harus kuat, Giv. Kita semua disini berdo'a untuk Kak Adit lo." Ucap Nizza memberi kekuatan pada Giva.
Giva tersenyum dan mengangguk sebagai balasan. Mereka semua tahu seberapa pentingnya Adit bagi Giva, karena tadi di sekolah Marsell sudah menceritakan semuanya.
Hening. Semuanya diam, sibuk dengan pikirannya masing masing.
Giva sangat lemas sekarang, kepalanya pusing, namun Giva berusaha menahannya. Perutnya yang belum diisi apa apa dari pagi, membuatnya sedikit mual. Karena Giva mempunyai riwayat penyakit Mag. Mukanya sangat pucat bagaikan mayat hidup.
Gio yang menyadari raut wajah Giva pun dia segera bangkit dari duduknya, kemudian dia menarik tangan Giva untuk menuju kantin yang ada dirumah sakit tersebut.
Giva menatap Gio dengan tatapan bertanya 'mau kemana?' sebab untuk berbicara pun dia sudah tidak bisa. Sungguh dia sangat lemas sekarang.
"Udah ayo ikut aja." Ucap Gio seakan mengerti dengan tatapan Giva.
"Gue sama Giva mau ke kantin dulu." Gio berkata kepada teman temannya, setelah mereka semua mengangguk Gio segera bergegas menuju tempat yang akan dia tuju, kantin.
Giva yang tidak punya tenaga sama sekali, dia hanya mengikuti Gio disambungnya. Gio masih dengan menggenggam tangan Giva.
Tiba tiba badan Giva oleng, dengan sigap Gio menahan badannya agar tidak jatuh. Mereka saling menatap, kemudian Gio memutuskan kontak mata itu. Dia segera mendudukkan Giva dibangku yang ada didekat sana. Wajah Giva semakin memucat.
"Giv, gue panggilan suster aja ya." Ucap Gio, Giva menggelengkan kepalanya.
"Tapi lo harus di periksa, lo sakit."
"Gue nggak papa." Lirih Giva sangat pelan seperti orang yang sedang berbisik.
"Lo masih kuat jalan?" Tanya Gio, namun Giva hanya diam tidak menjawabnya.
Tanpa ba bi bu Gio segera mengangkat tubuh Giva ala Bridal style. Giva membulatkan matanya karena tindakan Gio, dengan refleks dia mengalungkan kedua tangannya di leher Gio karena takut jatuh. Kini mereka pun menjadi pusat perhatian disana.
"Gio turunin, malu." Lirih Giva di depan wajah Gio.
Gio melirik kearah Giva, dia hanya mengangkat bahu acuh. Tanpa memperdulikan ucapan Giva, Gio terus berjalan menuju kantin disana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hope For Longing
Teen FictionKetika sesuatu yang indah hilang dalam seketika tergantikan oleh banyak luka terutama kerinduan. Bagaikan api yang harus mencairkan es, dan ketika es itu berhasil mencair menjadi air, tugasnya adalah memadamkan api. Ketika api itu telah padam, hany...