"Masih ada aku disini."
••••
Giva sudah dipindahkan diruang inap sekarang, namun dia masih belum membuka matanya juga. membuat mereka masih sedikit cemas, meskipun dokter sudah bilang Giva baik baik saja.
Bip!
Ponsel Marsell bergetar menandakan ada yang menelfonnya.
Marsell merogoh ponselnya, lalu melihat dilayar ponselnya siapa yang menelfon. Tenyata Ariza.
"Apa, Za?"
"Lo dimana?"
"Rumah sakit."
"Si..."
"Giva sakit. Kalo lo mau kesini, kesini aja. Ajak temen temen Giva sekalian. Nanti gue kirim lokasi ke lo. Gue tunggu!"
Marsell langsung mematikan sambungannya tanpa menunggu balasan dari Ariza.
Dia memejamkan matanya sejenak, membuang nafas panjang. Lalu, dia mengirimkan pesan lokasi ke Ariza.
Dokter masuk keruangan Giva, membuat ketiga orang yang ada disana segera bangkit.
Hingga beberapa menit, dokter itu keluar kembali dari dalam ruangan.
"Kenapa dia belum sadar, dok?" Tanya Sarah was was.
"Saya juga tidak mengerti, seharusnya dia sudah sadar. Kita tunggu saja sampai satu jam kedepan, kalau dia masih belum sadar juga, akan saya pindahkan lagi ke ruang ICU." Ucap Dokter itu.
Terdengar helaan panjang dari mereka, sesak yang kian semakin terasa. Bahkan air mata Sarah kembali meluncur.
"Baiklah, permisi." Sambungnya, yang didapat anggukan oleh ketiganya. Lalu Dokter itu pergi dari sana.
Mereka kembali terduduk lemas, pandangan mereka kosong. Giva yang selalu ceria, yang jutek, galak, tapi juga penyayang. Kini dia harus terbaring lemah, bahkan untuk membuka matanya pun ia enggan.
Derap langkah kaki yang tergesa gesa terdengar membuat mereka menoleh. Disana ada Ariza, Rey, Rafael, dan Damar. Juga, Silla, Lisa, dan Nizza.
Tatapan mereka sangat cemas, bahkan masih dengan nafas yang ngos ngosan. Mereka berusaha bertanya 'Giva kenapa?'
"Gimana, Sell?" Tanya Lisa khawatir.
"Giva masih belum sadar." Ucap Marsell.
"Ya tuhan Giva..." Lirih Nizza.
"Kak Sarah yang sabar ya." Ucap Silla, yang hanya mendapat senyuman dari Sarah.
"Pantes kita tungguin kalian berdua, ternyata kalian ada disini." Ucap Damar, membuat semua tatapan tajam menuju padanya.
"Hehe..." Damar cengengesan sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Emang Giva kenapa sih, Sell?" Tanya Rey.
"Sakit." Singkat Marsell.
"Gue juga tahu dia itu sakit. Maksudnya kenapa sampe bisa masuk rumah sakit dodol." Geram Rey.
"Takdir." Ucapnya lagi, membuat Rey semakin geram.
"Sabar, Rey, sabar." Ucap Rey sambil mengusap usap dadanya dengan gerakan naik turun.
"Harus!" Ucap Marsell. Yang membuat Rey menatap tajam ke arahnya.
Tidak ada lagi percakapan yang mereka katakan, semuanya diam tak berkutat. Hanya sesekali terdengar suara isakan dari Sarah dan ketiga teman Giva.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hope For Longing
Ficção AdolescenteKetika sesuatu yang indah hilang dalam seketika tergantikan oleh banyak luka terutama kerinduan. Bagaikan api yang harus mencairkan es, dan ketika es itu berhasil mencair menjadi air, tugasnya adalah memadamkan api. Ketika api itu telah padam, hany...