PART 24

430 41 1
                                        

Maaf, maaf, maaf.

Berapa kalipun aku mengucapkannya, mungkin kamu tetap memaafkan, entah itu tulus atau sebaliknya, aku tidak pernah tahu. Namun yang pasti, ketika mengucapnya hanya ada satu rasa yang terbesit di dalam hatiku...

Sakit. Dan aku harap kamu mengetahui hal itu.

-POLARIS-

...

Menurut buku yang pernah Yui baca, Lao Tzu pernah mengatakan bahwa untuk mencapai 1000 langkah maka seseorang harus memulainya dari selangkah. Kita dituntut untuk berjalan perlahan sebelum mencapai hasil akhir yang memuaskan, manusia diajarkan untuk menghadapi sebuah proses, entah itu senang atau sakit, bahagia dan sedih, namun yang pasti akan ada hasil yang indah asalkan tidak pernah menyerah.

Dan sampai kapanpun Yui berharap dirinya masih memegang teguh prinsip seperti itu.

Semua kehidupan seseorang akan berakhir indah, tergantung bagaimana cara kita memandangnya.

Yui menunduk. Seperti biasa, dirinya akan selalu pulang sekolah ketika matahari mulai menunjukkan sinar senjanya. Sepatu itu melangkah pelan dan seperti beberapa hari belakangan pula dirinya seolah tidak bisa diandalkan.

Senior tertawa pelan, cowok berwajah bundar itu memerhatikan Yui sejenak seraya berjalan menyamakan langkah, memasukkan tangan ke dalam saku celana. "Jangan minta maaf, harusnya aku yang minta maaf. Aku bercanda di saat yang tidak tepat. Kau kelelahan dan suasana hatimu pasti memburuk."

Ya, ingin rasanya Yui membenarkan namun disisi lain adakalanya ia ingin menyalahkan. Benarnya adalah dirinya memang kelelahan waktu itu dan tidak bisa lagi melalukan passing sebagus dulu adalah salah satu penyebab suasana hatinya hancur.

Namun salahnya adalah bukan berarti sekarang dirinya sudah baik-baik saja. Semuanya masih sama, baik dari suasana hati maupun kondisi fisik ini. Dirinya sekarang hanya mengikuti kata hati, entah apa maunya sistem otak ini yang pasti ingin sekali Yui membencinya.

"Daripada mendengar kata maaf, mungkin lebih baik aku mengatakan ini," Senior berbicara panjang. Nihil, Yui tak menggubris, selama perjalanan menuju gang gadis itu hanya berjalan pelan bahkan terlalu sering ketinggalan di belakang tanpa mengerjapkan mata seolah tengah menerawang. "Aku mau bilang makasih denganmu. Makasih waktu itu untuk tidak menyerah mendekatiku, kalau kau tidak melakukannya mungkin aku pernah tahu kehidupan normal seperti apa yang aku dapat"

Yui menunduk, diam-diam gadis itu memcengkram sandangan tas dengan erat.

Kedua sudut bibir Senior terangkat. Untuk kesekian kalinya cowok itu Terpaksa menghentikan langkah begitu melihat Yui jauh tertinggal beberapa langkah di belakangnya.

"Kau benar," Senior tersenyum simpul. Lalu melangkah begitu Yui sudah berjalan seiringan dengannya, langkah sepatu putih itu berjalan kecil dan pelan. "Terkadang kita tidak harus sendirian untuk terlihat kuat, adakalanya kita membutuhkan orang lain untuk menjadi jauh lebih kuat."

"Ah, tidak," Suara bass itu tertawa pelan, menunduk, melirik Yui. "Mungkin bukan, kita membutuhkan orang lain untuk tahu bahwa kita benar-benar berguna, dianggap ada. Ya 'kan Yui?"

Tak ada jawaban dari Yui, gadis itu masih saja menunduk seraya berjalan tidak semangat. Siapapun yang melihat pasti akan mengatakan gadis itu seakan berusaha mati-matian mengendalikan emosi negatif yang beberapa minggu ini minta dikeluarkan.

Oh! Atau mungkin bukan dirinya tapi monster yang menyebabkan penyakit di tubuhnya inilah yang tengah mencoba cari masalah.

Langkah Senior terhenti seketika, begitu juga Yui yang mengikuti begitu tangan lebar itu menahan lengannya seolah meminta berhenti.

Yui menoleh, datar. "Apa?"

Senior melirik, rumah besar dengan dinding berwarna putih tingkat dua dan tak lupa pula ciri khas pada pagar hitam di halaman depan. "Rumahmu."

Yui mengernyit. Mata bulat itu memerhatikan perumahan di depannya, dari atas hingga bawah. Cantik? Ya, rapi? Sangat, apalagi melihat rumput hijau ditanami di halaman rumah. "Rumahku?"

Senior mengangguk, tak dapat dipungkiri cowok itu juga ikut mengernyit melihat reaksi Yui. "Kau sedang bercanda 'kan? Mana mungkin kau bisa lupa dengan rumah sendiri."

"Hah?" Kedua alis Yui terangkat, mata bulat gadis itu memerhatikan Senior sejenak. Cowok itu tampak bersungguh-sungguh seolah serius dengan ucapannya. Baiklah. Laki-laki ini bisa dipercaya dan tidak berbohong, berarti rumah bertingkat dua ini memanglah rumahnya.

Perlahan kedua sudut bibir yang tadinya tampak turun itu kini perlahan terangkat, wajah yang tadinya tampak begitu datar kini terlihat senang, ada sedikit binaran dibalik mata cokelatnya. Yui tertawa kencang, seraya menepuk bahu Senior dengan kuat. Berhasil membuat laki-laki itu meringis kesakitan.

"Tentu saja aku bercanda," Yui tertawa kuat, mencengkram kedua sandangan tas dengan erat, seraya menyipitkan mata dengan senang. Demi apapun Yui berharap hanya dirinya saja yang mendengar kalau tawa ini terdengar dipaksakan.

"Ahaha... mana mungkin aku melupakan rumahku sendiri, konyol sekali. Oh ya Senior!" Yui mencondongkan tubuh, menyengir, lalu melambaikan tangan tepat di hadapan wajah bundar itu. "Makasih telah mengantarku! Aku masuk dulu ya! Dadah!"

Cowok itu mengangguk, tersenyum.

Pintu rumah ditutup, Yui menahan napas seketika, diperhatikannya sekeliling rumah itu termasuk beberapa foto yang terpajang di lemari kaca. Ada foto dirinya. Senior itu benar, inilah rumahnya.

Mana mungkin aku melupakan rumahku sendiri. Konyol sekali.

"Konyol," Yui tertawa pelan, gadis itu tersenyum tipis seraya menghempaskan tubuhnya di atas sofa. Setiap sudut ruangan rumah tampak remang-remang, cahaya lampu belum dihidupkan dan hanya mengandalkan cahaya matahari senja yang memasuki lewat celah lubang angin rumah.

Perlahan Yui mengigit bawah bibir, menahan napas dan tanpa sadar menarik ujung-ujung rambut dengan erat begitu cairan bening menetes jatuh tepat di pipinya. "Kenapa?" ucap Yui bergetar, memejamkan mata dengan erat.

Kenapa. Satu kalimat yang begitu banyak mengundang pertanyaan. Ingin saja ia bertanya untuk melepaskan segala jenis tanda tanya yang selalu ia simpan dalam kepalanya. Kenapa dirinya harus memiliki tubuh seperti ini? Kenapa hidupnya harus seperti ini? dan kenapa...

Yui membungkam mulut. Nihil, tak sesuai yang diharapkan. Bukannya berhenti, air mata ini seolah tak tahu diri untuk terus mengalir. Kenapa dirinya tidak banyak mengingat tentang orang sekitarnya? Ia sering melupakan Tante, melupakan rumah ini, dan yang terakhir...

Jujur saja, dalam seumur hidupnya, seberapa seringpun ia berjalan, ia tidak akan pernah mengingat siapa nama Senior yang sesungguhnya.

___

Thank's for reading. I hope you enjoy it!

POLARIS [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang